"Kalau betul pelaku itu MS, berarti aparat kepolisian di Polres Cirebon Kota tidak menyadari bahwa ada buronan di markas mereka," ujar pengamat kepolisian, Neta Pane, kepada
Rakyat Merdeka Online, Senin (18/4).
Hal itu berdasar fakta bahwa MS sedang dicari polisi untuk dimintai keterangan terkait kasus pembunuhan salah seorang anggota TNI di Cirebon.
"Terlepas bom itu meledak di dalam masjid, tapi masjid itu ada di dalam markas polisi dan setiap orang yang masuk ke sana pasti melewati pos penjagaan," ucap Neta.
Keteledoran lain, polisi ternyata kurang mengawasi figur yang terkenal radikal di Ormas-Ormas garis keras. Sementara diketahui, terduga pelaku bom bunuh diri, MS, sering terlibat dalam aksi-aksi bersama Ormas Islam. Polisi, menurut Neta, hanya berani mengawasi figur-figur radikal di dalam kelompok mahasiwa yang kritis terhadappemerintahan.
"Memang lebih mudah menindak mahasiwa yang radikal daripada Ormas, karena kita tahu sejarah berdirinya sebagian besar Ormas-Ormas itu dibidani oknum aparat keamanan," ungkap Neta.
Menurut Neta, Polri boleh saja menyangkal "kecolongan" bom bunuh diri. Tapi harus diakui intelijen kepolisian tidak bekerja maksimal.
"Dalam kasus bom molotov di kantor Tempo dan kasus-kasus bom buku, intelijen tidak maksimal untuk ungkap itu," tegasnya.
[ald]