Demikian dikatakan Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 1/3). Sebelumnya, isu negara gagal dan intervensi internasional menjadi isu hangat di kalangan akademisi dan aktivis.
Seperti diketahui, pertemuan para Gurubesar dan pimpinan Universitas di Universitas Negeri Jakarta pada awal Februari lalu memberi peringatan pada pemerintah sebelum negara ini jatuh dalam kegagalan. Konsekuensinya kalau negara ini jatuh dalam kegagalan adalah intervensi internasional. Namun, menurut Hikamahanto, ia melihat situasi Indonesia saat ini masih jauh dari negara gagal. Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Ode Ida, di Gedung DPD RI, Jakarta (Selasa, 8/2) mengatakan, Indonesia nyaris menjadi negara gagal. Kepemimpinan nasional begitu lemah dalam mengelola negara.
"Negara dikatakan gagal itu kalau
chaos total, konflik horisontal tak bisa tertangani, rakyat menderita akibat konflik antar suku, dan itu jauh sekali dari kondisi sekarang," tegasnya.
Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini menambahkan, intervensi internasional kepada satu negara yang dianggap gagal memerlukan persetujuan Dewan Keamanan PBB dan harus mempunyai alasan kemanusiaan. Dalam struktur organisasi PBB, Dewan Keamanan memiliki wewenang yang cukup besar, antara lain kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi pada suatu negara dan memutuskan untuk pengiriman pasukan perdamaian ke wilayah konflik. Dewan Keamanan PBB terdiri dari lima anggota tetap, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China.
"Sejatinya, PBB dan asing tidak boleh mengintervensi. Kalaupun PBB mau masuk, alasan kemanusiaan harus ada," jelasnya.
Sebelumnya, pengamat politik internasional, Yusron Ihza, mengatakan, intervensi internasional paling mudah masuk lewat isu hak asasi manusia. Berkaitan dengan situasi nasional kekinian, persoalan ekonomi adalah hal yang paling mudah menyulut pertikaian horisontal antar kelompok masyarakat. Sementara pemerintah tampak kehilangan kendali.
[ald]