Sekadar diketahui, pada awal Februari lalu, sebuah pertemuan para Gurubesar dan pimpinan Universitas di Universitas Negeri Jakarta, memberi peringatan pada pemerintah sebelum negara ini jatuh dalam kegagalan. Mantan Rektor UGM, Sofyan Effendi, yang juga turut hadir dalam pertemuan itu, dengan jelas memaparkan tanda-tanda itu.
"Dari laporan Failed State Index tahun 2010 Indonesia saat ini berada diperingkat 61 dari 177. Namun, tahun depan bisa saja kita turun lagi," kata Sofyan menyebut salah satu indikator.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Ode Ida, di Gedung DPD RI, Jakarta (Selasa, 8/2) mengatakan, Indonesia nyaris menjadi negara gagal. Kepemimpinan nasional begitu lemah dalam mengelola negara. Karena merasa prihatin, beberapa orang lintas partai, pengamat dan aktivis akan mendeklarasikan Gerakan Penyelamatan Bangsa. Diantara pihak yang terlibat dalam Gerakan Penyelamatan Bangsa adalah anggota Fraksi PKB Effendi Choiri, anggota Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, anggota Fraksi Golkar Nudirman Munir, Ketua DPP Yuddy Chrisnandi, Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia Johnson Panjaitan, pakar hukum tata negara Margarito Kamis.
"Ide ini muncul karena melihat pengolahan bangsa tidak beres, lemah, padahal negara ini sangat luas dan potensi alamnya sangat banyak," demikian La Ode Ida.
Pengamat politik Fadjroel Rachman, juga punya pendapat. Menurutnya, ada tiga isu penting yang harus diperhatikan pemerintah agar negara ini tidak jatuh dalam kegagalan dan hilang dari peta dunia.
"Pertama, kasus korupsi, kedua kasus kemiskinan dan terakhir ketimpangan sosial," jelasnya (Kamis, 24/2).
Ditambahkannya, Indonesia mengalami masalah pelik dalam persoalan kemiskinan , ketimpangan sosial, ketimpangan antar daerah dan isu SARA. Dan kesemuanya itu akibat kesalahan manajemen negara.
Pengamat politik dan hukum internasional, Yusron Ihza, saat berdialog dengan
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Senin, 28/2) menyambut analisa para akademisi.
"Justru yang harus kita waspadai, pemerintah kita dianggap tidak bisa mengendalikan keadaaan, lalu orang asing boleh masuk sesukanya. Kalau Dewan HAM PBB, misalnya, masuk, itu bisa jadi penjajahan gaya baru," tegas Yusron.
Eks Anggota Komisi I DPR ini mengatakan, intervensi internasional paling mudah masuk lewat isu hak asasi manusia. Berkaitan dengan situasi nasional kekinian, persoalan ekonomi adalah hal yang paling mudah menyulut pertikaian horisontal antar kelompok masyarakat. Sementara pemerintah tampak kehilangan kendali.
"Kita melihat dalam soal Ahmadiyah dan konflik-konflik horisontal, pemerintah cenderung terlalu banyak bicara, tapi tak banyak berbuat. Kita tidak bisa berharap apa-apa dari politik citra," tegasnya.
Yusron mengajak Pemerintah belajar pada kasus lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Isu pelanggaran HAM menjadi alasan utama dunia internasional mengambil alih Timor Timur.
"Dulu kita kita tahu Timor Timur bikin pusing kita. Jangan sampai sakit itu terulang kembali. Kita diberikan sanksi karena melanggar hak asasi. Kini, ada arah kesana yang perlu diwaspadai pemerintah. Klaim statistik pemerintah berbeda dengan kenyataan ekonomi. Orang susah dimana-mana dan itu mudah konflik, kalau itu terjadi akan semakin nyata ancaman intervensi internasional. Kita berharap pemrintah lebih serius," ucap Yusron.
Perbincangan Indonesia sebagai
failed state (negara gagal) menjadi topik diskusi paling hangat beberapa tahun terakhir. Paling banyak dijadikan referensi adalah sosiolog Noam Chomsky, yang dalam buku
Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006), mengatakan: sebuah negara bisa dinyatakan gagal bila tidak punya kemampuan atau ogah-ogahan melindungi warganya dari berbagai tindak kekerasan dan ancaman kehancuran.
Satu lagi yang penting dari ciri-ciri
failed state. Negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan.
[ald]