Pemerintah RI diminta segera menyiapkan respons tepat, yaitu mengubah kebijakan pangan yang selama ini sangat bergantung pada pasar. Disayangkan, pemerintah tidak ikut campur stabilisasi harga pangan. Sementara, dalam menanggulangi kenaikan harga, pemerintah hanya menjadi "pemadam kebakaran" lewat operasi pasar.
"Mestinya sekarang ada koreksi kebijakan, koreksinya mulai dari stok. Sekarang pemerintah membeli beras menggunakan patokan HPP (harga pembelian petani) dan kalau tidak sesuai HPP, Bulog tidak beli. Tapi begitu beras langka, Bulog impor untuk mengisi stok," ujar Direktur Eksekutif Econit Advisory Group, Hendri Saparini, saat berdialog dengan
Rakyat Merdeka Online (Selasa, 28/12).
Dengan demikian, pemenuhan stok dalam negeri tidak memprioritaskan hasil produksi dalam negeri dengan kemudahan mendapatkan dana untuk menyerap produksi petani.
"Jadinya kita impor lagi dan bebas biaya masuk. Kebijakan mendorong untuk mempermudah impor. Sementara impor tadi sudah dipastikan memberi keuntungan sekelompok orang saja, namanya juga hubungan dagang," tukasnya.
Bulog harus diberi kewenangan untuk bisa menyerap produksi petani semaksimal mungkin, bukan hanya untuk membantu petani meningkatkan kesejahteraannya, tapi juga mengantisipasi krisis pangan akibat perubahan iklim. Bulog harus miliki intervensi terhadap harga pangan baik beras dan non beras. Malaysia yang masih memproteksi 20-an harga bahan pokoknya, patut dicontoh.
"Perlu perubahan signifikan dan fundamental, kalau tak mau terombang ambing harga pangan," terang Hendri. Apalagi, menurut Bank Dunia, 42 persen dari penduduk Indonesia termasuk
near poor dan 72 persen pengeluaran masyarakat miskin digunakan untuk pangan.
Sebelumnya Dewan Pengurus Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia mengkritik kebijakan impor yang dilakukan karena fungsi Bulog sekarang dipacu mengejar profit. Saat ini, HPP oleh Bulog ditetapkan pemerintah Rp 5.050/kg. Namun, harga beras cenderung naik ke angka Rp 6.000/kg. Untuk memenuhi stok 1,5 juta ton beras, Bulog kemudian mengimpor beras yang harganya lebih murah.
Karena itu, HKTI mendesak dilakukan perubahan fungsi Bulog untuk dikembalikan sebagai agent of development, sebagai penyangga harga. HKTI menyontohkan bagaimana pemerintah Jepang rela membeli 1 kg beras dari petaninya seharga Rp 40 ribu. Padahal, jika melakukan kebijakan impor, pemerintahnya bisa memperoleh harga beras seharga 1 USD/Rp 9000 setiap Kg.
[ald]
BERITA TERKAIT: