Hari ini, kita mungkin punya sejuta doktor; namun negeri ini justru terasa seperti hendak mengalami kiamat kecil setiap hari. Kekerasan dinormalisasi, korupsi dianggap kebiasaan, dan gelar tampaknya tidak lagi berbanding lurus dengan nurani. Kita seperti bangsa yang berjalan maju, tetapi hatinya merunduk ke belakang. Ada sesuatu yang pelan-pelan hilang - seperti cahaya di lampu minyak yang meredup tanpa kita sadar.
Karena itu, ketika kita bicara Hak Asasi Manusia, kita harus kembali ke hulu. Bukan karena tragedi-tragedi yang menggores republik ini tidak penting - Munir, Marsinah, pembunuhan anggota FPI, tragedi Kanjuruhan, korban 65 dan 98, korban konflik, hingga warga yang tenggelam oleh banjir dan longsor di Sumatera. Semua itu adalah luka yang harus diingat. Tetapi HAM tidak akan pernah selesai bila kita hanya menjadikannya daftar panjang nestapa. Jika kita hanya sibuk memadamkan api, kita lupa melihat dari mana percikan pertama lahir. Kita hanya menjadi pengunjung museum tragedi, bukan arsitek masa depan. Bangsa tidak tumbuh dari ingatan pada luka saja, tetapi dari kemampuan membaca akar luka itu dengan kepala jernih.
Hulu dari persoalan HAM adalah cara kita menilai manusia. Cara kita menghormatinya meskipun ia berbeda, lemah, tidak setuju dengan kita, atau tidak punya apa-apa. HAM bukan slogan aktivisme atau pasal undang-undang; ia kompas moral yang menentukan kualitas peradaban. Pelanggaran HAM tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir sejak kita berhenti melihat manusia sebagai manusia - melainkan sebagai angka, objek, musuh, atau “yang lain”.
Dan di situlah masalah terbesar kita. Pelanggaran HAM bukan hanya produk negara; ia juga produk masyarakat. Ia tumbuh dalam ekosistem moral yang retak - negara yang represif, publik yang apatis, media yang permisif, dan warga yang kehilangan empati. Kita menganggap pelanggaran HAM adalah tindakan aparat. Padahal rakyat sering ikut melanggengkan kekerasan: persekusi, bullying digital, penghakiman massa, stigmatisasi “anti-NKRI”, “radikal”, "teroris-ekstrimis", atau “kafir”. Kita pun sadar: yang retak bukan hanya institusi, tetapi kehalusan budi yang membuat kita tetap manusia.
Totalitarianisme tidak lahir di ruang kosong. Ia membutuhkan masyarakat yang patah—masyarakat yang lebih memilih diam daripada bersuara, aman daripada adil. Puluhan tahun represi melahirkan mentalitas “jangan ikut campur”, “kalau ditangkap berarti salah”, “yang penting keluarga aman”. Kekerasan tidak lagi harus datang dari negara; masyarakat sendiri sudah saling memukul—secara fisik maupun digital. Pada titik paling gelap, sebuah bangsa tidak lagi membutuhkan tiran; cukup ketakutan yang diwariskan lintas generasi.
Begitulah kekuasaan bekerja: lewat dua jalur. Repressive State Apparatus—polisi, militer, pengadilan—menggunakan paksaan. Ideological State Apparatus—sekolah, media, keluarga, institusi budaya—menggunakan pembiasaan. Setelah puluhan tahun, keduanya membentuk cara kita berpikir. Kita tidak hanya diam karena takut; kita ikut menjadi perpanjangan tangan logika yang menormalisasi kekerasan. Perubahan yang paling berbahaya sering terjadi dalam senyap: perubahan dalam kepala.
Kerusakan lingkungan—penggundulan hutan, perusakan sungai, perubahan kawasan pesisir—juga merupakan pelanggaran HAM. Hak manusia atas lingkungan yang sehat dirampas sedikit demi sedikit. Dan dalam proses panjang itu, masyarakat sering terlibat bukan sebagai pelaku utama, tetapi sebagai korban yang akhirnya ikut menormalisasi kerusakan. Ekosistem tidak hanya rusak oleh korporasi, tetapi juga oleh hilangnya daya kritis publik.
Lalu datang kolonialisme baru: algoritma. Jika kolonialisme lama menaklukkan tanah, algoritma hari ini menaklukkan pikiran. Ia menentukan apa yang kita lihat, apa yang harus kita marahi, dan siapa yang harus kita benci. Publik menjadi reaktif, bukan reflektif. Totalitarianisme baru tidak butuh tank; cukup notifikasi. Penjajah baru tidak memakai seragam; ia memakai kenyamanan dan kebiasaan yang membuat kita tak sadar sedang diarahkan.
Di tengah semua ini, kita menghadapi krisis moral yang lebih sunyi tapi jauh lebih dalam: dekadensi dan demoralisasi. Korupsi yang disenyapkan, intoleransi yang dirayakan, kekerasan yang diviralkan, hoaks yang dipercaya lebih cepat daripada kebenaran. Kita kehilangan kualitas manusia, bukan kualitas ijazah. Ilmu meningkat, gelar bertambah, tetapi kebijaksanaan sosial menipis. Seperti rumah tua yang retaknya tidak terdengar, tapi pelan-pelan melemahkan fondasi.
Obatnya bukan politik elektoral, melainkan determinasi moral: keberanian sipil, empati, integritas, solidaritas, literasi etika, dan komitmen jangka panjang menjaga martabat manusia. Tanpa itu, demokrasi hanya dekorasi, HAM hanya poster, dan masa depan hanya salinan dari masa lalu yang tak pernah kita benahi.
Karena itu, Gen Z - yang akan memimpin negeri ini dalam dua atau tiga dekade—perlu memahami HAM bukan sebagai materi kuliah, tetapi sebagai fondasi keberadaban. Pertanyaannya bukan apakah kalian akan memegang kekuasaan, tetapi dalam kondisi moral seperti apa kalian akan memegangnya. Tanpa kognisi publik soal HAM, kalian akan mewarisi negara yang retak dari dalam.
Gerakan mahasiswa tidak bisa lagi bergantung pada BEM sebagai struktur satu tahun yang mudah dipatahkan birokrasi. Gerakan masa depan harus cair, berjejaring, desentralistik. Tidak perlu stempel, tidak perlu komando. Yang dibutuhkan adalah karakter: integritas moral dan keberlanjutan perjuangan. Kolektif lintas kampus, advokasi digital, jurnalisme warga, ruang diskusi independen, narasi tanding melawan hoaks—semua ini adalah bentuk baru keberanian sipil. Arab Spring dan revolusi Nepal bukan lahir dari BEM, tetapi dari jaringan horizontal mahasiswa yang menolak dibatasi struktur.
Pertarungan terbesar zaman ini adalah perang kognisi. Melawan ketidakpedulian. Melawan normalisasi kekerasan. Melawan cara berpikir yang mengubah manusia menjadi objek. HAM mati bukan ketika undang-undang dilanggar, tetapi ketika hati publik berhenti peduli.
HAM bukan milik aktivis; bukan pula milik Barat. HAM adalah cara sebuah bangsa menjaga martabatnya sendiri. Negara runtuh bukan karena diserang, tetapi karena warganya berhenti saling menjaga.
Generasi muda harus memutus rantai ketakutan. Dekadensi harus dilawan dengan determinasi moral. Algoritma harus dilampaui dengan kesadaran. Totalitarianisme harus dibendung dengan solidaritas. Dan pelanggaran HAM hanya bisa dicegah oleh keberanian untuk tetap melihat manusia sebagai manusia.
Karena pada akhirnya, HAM bukan tentang masa lalu. HAM adalah tentang siapa kita ingin menjadi sebagai bangsa tiga puluh tahun dari sekarang. Dan pilihan itu, sejak hari ini, sepenuhnya ada di tangan kita.
BERITA TERKAIT: