Dalam sistem seperti ini, negara tidak lagi menjadi penjamin keadilan, tetapi makhluk raksasa yang menelan rakyatnya. Kekuasaan dijalankan bukan dengan rasionalitas, tetapi dengan absurditas yang dilembagakan. Dan di tengah kehancuran nilai, etika dan moral ini, hendaknya kita membuka kembali buku dari para pemikir revolusioner: Mikhael Bakunin dengan anarkisme etisnya, Ali Syariati dengan teologi pembebasan Islamnya, Muhammad Iqbal dengan filsafat ego kreatifnya, dan Theodor Adorno dengan kritiknya terhadap rasionalitas yang dirusak kapitalisme.
Keempatnya, meskipun lahir dari tradisi yang berbeda, bertemu dalam satu garis api: perlawanan terhadap kekuasaan yang mematikan manusia—baik lewat dogma, sistem, maupun komodifikasi kesadaran.
Bakunin: Anarkisme sebagai Etika Melawan Tuhan Palsu Kekuasaan
Bakunin adalah figur yang menolak seluruh bentuk otoritas absolut. Ia menulis, “Jika Tuhan benar-benar ada, maka manusia tidak bebas; dan karena itu Tuhan harus dibunuh.” Pernyataan ini bukan ateisme vulgar, tetapi seruan metaforis untuk menghancurkan setiap bentuk otoritas yang mengklaim kebenaran mutlak—baik itu negara, agama, maupun elit yang memonopoli makna moralitas.
Bagi Bakunin, negara modern adalah reinkarnasi 'tuhan sekuler' - institusi yang menuntut ketaatan buta. Dalam konteks kakistocracy, negara seperti ini berfungsi bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai mesin kekuasaan yang mempertahankan kebodohan rakyat sebagai strategi bertahan. Ia menciptakan hukum untuk mengontrol, bukan untuk menegakkan keadilan.
Bakunin menegaskan bahwa manusia sejati hanya dapat hidup merdeka di luar dominasi lembaga yang menindas kesadaran. Ia menyerukan pemberontakan moral: bukan sekadar menumbangkan penguasa, melainkan memulihkan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Syariati: Tauhid sebagai Revolusi Kesadaran
Ali Syariati datang dari semangat yang berbeda namun menuju arah yang sama. Ia menolak teologi yang dijadikan candu kekuasaan, dan mengubah konsep tauhid menjadi prinsip revolusi sosial. Baginya, tauhid bukan sekadar pengakuan terhadap keesaan Tuhan, tetapi juga pembebasan manusia dari segala bentuk “taghut”—yakni kekuasaan yang memperbudak manusia.
Syariati memandang sejarah manusia sebagai drama antara Habil dan Qabil, antara kekuatan cinta dan kekuatan dominasi. Ia menolak ulama yang bersekutu dengan tirani dan menyerukan munculnya manusia - muta’ahhid - yakni manusia beriman yang sadar secara sosial dan revolusioner secara moral.
Dalam sistem kakistokratik yang berlumur hipokrisi, ajaran Syariati adalah cambuk keras: agama tanpa kesadaran sosial adalah kemunafikan; kesalehan tanpa perlawanan adalah kolaborasi dengan penindasan. Syariati menulis, “Manusia beriman adalah mereka yang menolak tunduk pada sistem zalim, bahkan ketika itu sistem yang mengaku membawa nama Tuhan.”
Iqbal: Kebangkitan Ego Kreatif sebagai Spirit Emansipasi
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair dari anak benua India, menambahkan lapisan metafisik dalam perlawanan ini. Dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal menolak pasivitas umat yang menunggu perubahan dari luar. Ia menegaskan bahwa “ego manusia adalah percikan Ilahi yang harus dikembangkan, bukan dipasrahkan.”
Iqbal menyebut konsep ini sebagai khudi, diri yang sadar akan keilahiannya, tetapi juga bertanggung jawab menciptakan sejarah. Bagi Iqbal, perbudakan politik dan mental hanyalah akibat dari kematian khudi. Rezim kakistokratik bertahan karena manusia kehilangan keberanian menjadi dirinya sendiri.
Sama seperti Bakunin, Iqbal menolak otoritas yang mengekang kebebasan; namun ia menambahkan dimensi spiritual yang konstruktif. Jika Bakunin menghancurkan struktur, Iqbal membangunnya kembali dalam batin manusia. Ia menyerukan revolusi yang tidak hanya membakar istana kekuasaan, tetapi juga menyalakan api di dalam dada manusia yang telah membeku oleh ketakutan dan kepasrahan.
Adorno: Masyarakat yang Tertipu oleh Rasionalitas Palsu
Theodor W. Adorno, dengan Dialectic of Enlightenment dan Minima Moralia, memperlihatkan sisi paling licik dari kekuasaan modern: bahwa penindasan tidak lagi bersifat brutal, tetapi halus dan terlembagakan melalui budaya dan industri.
Menurut Adorno, modernitas telah memproduksi _rasionalitas instrumental_—akal yang tunduk pada efisiensi dan kekuasaan, bukan pada kebenaran dan kemanusiaan. Masyarakat menjadi korban logika sistem yang tampak rasional, namun sebenarnya menindas. Dalam kakistocracy, hal ini mencapai puncaknya: penguasa yang bodoh menggunakan instrumen rasionalitas semu—statistik, regulasi, jargon pembangunan—untuk menutupi kehancuran moralnya.
Adorno menulis bahwa “kemajuan teknis tanpa kemajuan etika hanya memperkuat barbarisme.” Inilah wajah modern dari tirani: rakyat tidak lagi dipaksa, mereka disesatkan dengan citra kemajuan. Intelektual yang seharusnya melawan justru menjadi humas kekuasaan, dan universitas menjadi pabrik sertifikasi kesetiaan.
Sintesa: Revolusi Moral dan KesadaranBakunin menghancurkan tuhan palsu eksternal; Syariati menumbangkan taghut internal; Iqbal membangunkan ego ilahiah; dan Adorno memperingatkan tentang penindasan melalui sistem yang tampak rasional. Dari keempatnya lahirlah peta jalan revolusi baru: revolusi moral yang berbasis kesadaran, bukan kekerasan.
Dari Bakunin kita belajar keberanian menolak tunduk
Dari Syariati kita belajar iman yang berjuang, bukan yang diam
Dari Iqbal kita belajar kreativitas spiritual untuk membangun dunia baru
Dari Adorno kita belajar kewaspadaan terhadap ideologi dan ilusi kemajuan
Mereka bersatu dalam satu tesis: bahwa musuh terbesar manusia bukanlah kekuasaan semata, tetapi kesadaran yang mati—kesadaran yang menyerah pada dogma, propaganda, dan ketakutan.
Kakistocracy: Institusionalisasi Simfoni KebodohanRezim kakistokratik adalah persekutuan antara kebodohan dan arogansi yang terorganisir. Ia tidak lahir karena kekuatan, tetapi karena ketundukan. Penguasa yang buruk bertahan karena rakyat berhenti berpikir, ulama berhenti bersuara, dan intelektual berhenti bermoral.
Kakistocracy adalah distopia yang dilembagakan: hukum dikuasai oleh penguasa yang melanggar hukum, agama disandera oleh birokrat rohani, dan media menjadi pabrik ilusi yang menjual rasa aman palsu.
Bakunin akan melihatnya sebagai puncak korupsi otoritas; Syariati akan menyebutnya kemusyrikan politik; Iqbal akan menyebutnya kematian khudi; dan Adorno akan mengidentifikasinya sebagai kegagalan total proyek pencerahan.
Pembebasan Struktural dan Pembebasan Spirit
Perlawanan terhadap kakistocracy menuntut dua tahap yang tak terpisahkan:
1. Pembebasan Struktural – membongkar sistem yang menindas melalui aksi sosial, kritik intelektual, dan desentralisasi kekuasaan sebagaimana ditekankan Bakunin dan Adorno.
2. Pembebasan Spirit dan Kesadaran – membangunkan kesadaran ilahiah sebagaimana ditekankan Syariati dan Iqbal: bahwa perubahan sejati lahir dari manusia yang menolak menjadi budak, bahkan kepada sistem yang disebut Tuhan.
Revolusi tidak cukup dengan menggulingkan tiran; ia harus menumbangkan cara berpikir yang melahirkan tiran itu sendiri. Sebab tirani sejati bukan di istana kekuasaan, melainkan di kepala manusia yang berhenti berpikir.
Dari Anarki ke Etika Tauhid
Perlawanan terhadap kakistocracy bukanlah proyek destruksi semata, tetapi proyek rekonstruksi manusia. Anarkisme Bakunin menemukan rumahnya dalam tauhid Syariati, spiritualitas Iqbal, dan kritik rasional Adorno.
Mereka bersama-sama mengajarkan bahwa kebebasan sejati tidak terletak pada runtuhnya negara, tetapi pada kebangkitan nurani. Ketika manusia menyadari bahwa tidak ada kebenaran yang boleh dimonopoli—baik oleh Tuhan buatan, negara, maupun kapital—maka di situlah revolusi dimulai.
Revolusi sejati bukan ledakan massa, tetapi pencerahan moral yang meluas; bukan perang di jalanan, tetapi kebangkitan dalam hati; bukan penghancuran fisik, melainkan pembatalan legitimasi moral para penindas.
Manusia yang Berani
Dalam dunia yang diperintah oleh mereka yang terburuk, menjadi manusia yang berpikir, beriman, dan menolak tunduk adalah tindakan revolusioner.
Bakunin menyulut api, Syariati menyalakan iman, Iqbal menumbuhkan diri, dan Adorno mengasah kesadaran kritis. Dari api, iman, diri, dan kesadaran itulah lahir manusia baru — manusia yang berani melawan kakistocracy, bukan karena kebencian, tetapi karena cinta pada kebenaran.
Penulis adalah Advokat/Aktivis 98