Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Islam Nusantara: Apakah Sesat dan Menyimpang?

OLEH: KH JAMALUDDIN F HASYIM

Rabu, 04 Januari 2023, 09:20 WIB
Islam Nusantara: Apakah Sesat dan Menyimpang?
Ilustrasi/Net
ISLAM Nusantara sering dipahami sebagai aliran baru yang cenderung sesat dan menyimpang dari Islam.

Tidak sedikit yang menuduhnya seakan agama baru. Pandangan negatif tentang Islam Nusantara ini begitu massif karena disuarakan oleh tokoh-tokoh umat yang menjadi panutan.

Namun sejauh pengamatan saya, pandangan negatif tersebut lebih banyak berbasis praduga tanpa referensi ilmiah yang memadai. Kalaupun ada, dia dikaitkan dengan referensi tentang suatu paham sesat yang lain dan kemudian disamakan begitu saja dengan Islam Nusantara.

Saking meluasnya paham negatif ini, sehingga semua hal-hal yang menyimpang dari Islam langsung dikaitkan dengan Islam Nusantara.

Mengumandangkan azan dan shalawatan di gereja, suatu ajaran tarekat yang menyimpang, shalawatan dengan joget, atau menggubah kalimat-kalimat Barzanji dengan bahasa Indonesia, semua disangkutpautkan dengan Islam Nusantara.

Padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Menyimpang ya menyimpang saja. Dari dulu ajaran yang semacam itu sudah ada. Bahkan saking sinisnya sampai ada yang bilang kain kafan penganut Islam Nusantara pakai kain batik, bukan kain putih. Weleh.. weleh..

Saya sendiri awalnya termasuk yang skeptis dengan penjelasan mereka yang bersuara negatif. Namun semangat ilmiah objektif mendorong saya mengkaji pendapat-pendapat yang ada, dan kesimpulan saya seperti tulisan di atas. Silakan bila berbeda pendapat, saya sangat menghargai.

Padahal Islam Nusantara bukanlah aliran baru, apalagi agama baru, yang sesat dan menyesatkan.

Islam Nusantara hanya istilah baru, bukan barang baru, yang dicetuskan oleh sebagian kiai dan pengurus NU beberapa tahun lalu. Islam Nusantara hanyalah memperjelas kekhasan Islam di bumi Nusantara, tidak lebih.

Tidak mengubah ajaran Islam sama sekali, apalagi membuat aliran baru. Ajaran Islam ketika diekspresikan oleh suatu kaum, maka terdapat ciri khas disana. Gambaran sederhananya, shalat di mana saja sama, di belahan bumi manapun itu sama.

Namun bentuk masjid, pakaian salat, bahkan langgam irama bacaan Al Quran seringkali berbeda antardaerah.

Di Arab kita mengenal pakaian gamis, di Pakistan ada kurta, di wilayah Nusantara kita pakai sarung.

Puasa Ramadan di mana-mana sama, buka puasanya berbeda, ada kurma, ada lontong, ketupat, dan sebagainya. Begitupun dalam budaya keberagamaan, bagaimana tata sosial, politik, dan lainnya memiliki kekhasan masing-masing.

Kita bersyukur karena memiliki modal sosial yang kuat di negeri kita, sehingga perbedaan sebanyak apapun (ingat: Indonesia negara sangat plural) tidak membawa konflik yang menghancurkan.

Inilah di antara kearifan lokal Nusantara yang berbeda dengan dunia Arab, misalnya, yang kini porak poranda akibat konflik yang menghancurkan dirinya.

Kenyataan lainnya, istilah Islam Nusantara telah diterima oleh banyak ulama, bahkan telah menjadi tema utama Muktamar ke-30 di Jombang, Jawa Timur.

Tentu kita yakin para ulama tidak akan mendukung dan sepakat dalam kesesatan bila ia memang sesat. Ulama NU ribuan jumlahnya, tentu tidak bisa disandingkan dengan beberapa tokoh yang berbeda.

Meski demikian, saya tetap husnuzzon bahwa pandangan negatif itu berangkat dari rasa keprihatinan dan kepedulian terhadap umat, hanya beda cara memandangnya.

Saya tidak mengharap harus sama pandangan kita, namun setidaknya ada ruang toleransi terhadap perbedaan pandangan dengan semangat mencari kebenaran.

Diskusi yang termuat dalam gambar ini akan menghadirkan intelektual NU sekaligus kyai yang sangat mumpuni dan akan menguraikan dengan baik apa dan bagaimana Islam Nusantara itu.
Penulis adalah Ketua KODI DKI Jakarta, Khodim Pesantren, Pengamat NU
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA