Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Makrifat Pagi: Air Mata, Mata Air

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudi-latif-5'>YUDI LATIF</a>
OLEH: YUDI LATIF
  • Jumat, 13 Desember 2019, 08:58 WIB
Makrifat Pagi: Air Mata, Mata Air
AIR mata itu bermakna jamak. “Adalah   kecerdikan buaya untuk melelehkan air mata sebelum memangsa,” tulis Francis Bacon.

Adapun Perjanjian Lama menyebutkan, “Dalam kelimpahan kearifan banyak kesedihan, dan siapa yang bertambah ilmunya bertambah keharuannya.”

air mata tak selalu merembeskan kecengengan infantil; bisa juga memantulkan kekuatan batin dari kedalaman penghayatan. Bukankah para revolusioner seperti Martin Luther King, Soekarno, Che Guevara dan Nelson Mandela terkenal mudah terharu?   

Jika air mata kecengengan menempatkan   nestapa diri sebagai biang keharuan, air mata kekuatan menempatkan nestapa orang lain sebagai penggugah keharuan. air mata   keharuan memijarkan air mata kekuatan ketika   air mata itu mencurahkan kedalaman penghayatan pada penderitaan orang lain.

Pada titik ini,  air mata menjadi mata air yang  mengalirkan energi hidup bagi yang lain. Ketulusan binar cinta pada yang lain pada akhirnya akan berbalas air mata cinta di hati  yang lain. Dalam suatu Dialog Pastoral  dikatakan, “Love’s flames will shine in every tear” (Binar cinta akan berkilau pada tiap tetes air mata).

Lantas, masih tersisakah tetes air mata yang dapat meleleh di pipi para pemimpin kita?  Adakah itu sekadar air mata buaya untuk mengelabui rakyat sebagai mangsa potensialnya, ataukah air mata kearifan karena penghayatan yang dalam atas penderitaan rakyat?

Yang pasti, adanya kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan para pemimpin dengan ekspresi keadilan dalam pelayanan publiknya membuat tetes air mata mereka belum sanggup  meneteskan air mata rakyatnya. Tidak seperti empati keharuan Presiden Chile, Sebastian Piñera, dalam   penyelamatan para petambang, yang   membuat jutaan orang meneteskan air mata.

Alih-alih meneteskan air mata rakyatnya, yang
mengemuka  di negeri ini adalah gelombang   amarah dan sinisme arus bawah karena janji-janji yang tak kunjung ditepati.

Selama era reformasi, kabinet yang dihasilkan adalah kabinet yang lebih mengedepankan  kepentingan  partai (penguasa partai)   ketimbang memenuhi amanat hati-nurani   rakyat. Akibatnya, keharuan para pemimpin politik kita tidak bersambung dengan  kepedulian pemerintahan; ekspresi kata tak bersambung dengan ekspresi perbuatan.

Mata-hati pemerintahan terbutakan oleh kepentingan sempit perseorangan dan golongan yang  lambat-laut membuatnya menjadi mati-hati. Dalam mati-hati, air mata yang menetes bisa sekadar air mata buaya untuk mengelabui kesan sebelum pemerintahan “memangsa” rakyat sendiri oleh kerakusan, ketidakadilan, dan ketidakpedulian elit oligarkis.

"Jika engkau memiliki air mata, bersiaplah untuk menangis saat ini,” ujarJulius Caesar. Namun bagi para pemimpin, sebaik-baiknya air mata adalah yang menjelma menjadi mata air belas-kasih bagi penderitaan rakyatnya. Bagi   mereka, sebaik-baiknya air mata adalah yang   terpancar tulus dari relung hati dan membekas di hati rakyatnya yang membalasnya dengan air mata cinta.

Marilah menangis dengan hati demi memberi negeri hujan kebahagiaan! rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA