Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polisi Tidak Boleh Menangkan Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/margarito-kamis-5'>MARGARITO KAMIS</a>
OLEH: MARGARITO KAMIS
  • Senin, 01 April 2019, 17:40 WIB
Polisi Tidak Boleh Menangkan Jokowi
Jokowi dan Tito/Net
02 itu Pak Prabowo dan Pak Sandi dalam pilpres ini. Apa perlunya menggembosi suara mereka? Apa salah Pak Prabowo dan Pak Sandi? Kalau yang menggembosi pemilih sendiri, ya biasa, konstitusional.

Tapi bila dilakukan polisi, terstruktur, sistematis atau tidak, jelas tidak biasa. Itu memukul telak kewibawaan Polisi sendiri. Itu memukul, mendeligitimasi Kapolri, yang telah menerbitkan TR, yang secara esensial mengharuskan semua polisi netral dalam pilpres ini.

Urusan menggembosi suara Pak Prabowo dan Pak Sandi diungkap telanjang oleh Pak Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut. Saya, katanya, telah dimutasi dari jabatan saya sebagai Kapolsek ke Polda Jabar, dikarenakan saya berfoto dengan seorang tokoh agama Kecamatan Pasirwangi yang kebetulan beliau sebagai ketua panitia deklarasi Prabowo-Sandi, ujar Sulman di Kantor Lokataru, Jakarta, Minggu (31/3).

Diakui Sulman yang berpangkat AKP, sebelumnya "sudah ada perintah untuk menggembosi suara" (tanda petik dari saya) konsentrasi massa yang mendukung paslon 02. Perintah itu, katanya dalam jumpa pers di kantor Lokataru, sebuah LSM di bawah kemudi Haris Azhar, hari minggu kemarin, diberikan oleh Kapolres Garut, (RMOL, 31/3). Menariknya Pak Kapolres membantahnya.

Lain Garut, Jawa Barat lain pula NTB. AKBP Erwin Ardiansah, entah apa jabatannya, seperti ditulis Mas Hersubeno Arif, memberi instruksi kepada seluruh Kapolsek memenangkan Paslon Nomor 01. Minimal 60 persen di wilayah masing-masing. Bila gagal mereka akan dievaluasi. Perintah itu, sekali lagi, tulis Mas Hersu yang merujuk data yang dimilikinya berasal dari kapolda NTB. Ini mirip substansi pengakuan Sulman, mantan Kapolsek Pasirwangi Garut, Jawa Barat.

Semoga Tak Begitu

Pak Kapolres Garut sudah membantah. Tetapi bantahannya tidak cukup menghilangkan keperluan untuk mendalami kasus ini. Dalam kerangka itu, muncul satu soal. Soalnya adalah kapan peristiwa berfoto bersama dengan seorang tokoh agama itu dilakukan? Jujur, tak dapat ditemukan jawaban kongklusif karena minimnya data yang tersedia. Apakah berfoto bersama itu dilakukan setelah keluarnya Telegram Rahasia, TR, Pak Kapolri yang mengharuskan personil polisi netral dalam pemilu juga tak terjawab.

Bila foto itu diambil jauh sebelum keluarnya TR, tetapi Pak Sulman baru dimutasi saat ini, maka mutasi itu, sampai pada level tertentu, terlihat, secara hipotetis, rasional. Paling tidak dapat dihipotesakan mutasi itu dimaksudkan untuk memastikan TR Pak Kapolri dipatuhi. Hipotesanya adalah bila tidak dimutasi, lalu foto itu beredar, maka Polisi dinilai tidak netral. Sampai dititik ini, mutasi itu rasional.

Bila hipotesa terakhir teruji, karena dapat diverifiaksi -memiliki koherensi dengan keadaan obyektif- maka mutasi itu sepenuhnya bersemangat republik. Semangat republik itu justru memanggil, dalam nada dan suara keadilan sebagai fundasi kesetaraan, Kapolri layak, pada kesempatan pertama, menimbang secara jernih pernyataan, andai benar, "arahan menggembosi suara pendukung Paslon 02".

Itu disebabkan pengakuan ini, dalam penalaran yang wajar, beresonansi dengan tindakan AKBP Edwin dalam artikel Mas Hersu, dan pernyataan Haris Azhar beberapa waktu lalu tentang pemetaan pemilih. Haris, dalam keterangannya itu, nampak sangat yakin dengan kredibilitas data yang dimilikinya. Pernyataan inilah yang, entah, apa karena krediblitas data atau bukan, segera direspon Mabes Polri.
Bagus

Dalam responnya, Mabes Polri, tentu melalui personilnya menegaskan, dalam garis besarnya, bahwa pemetaan itu dimaksudkan untuk mengenali potensi konflik. Penegasan ini, dalam substansinya, mirip penjelasan dalam bantahan Pak Kapolres Garut. Tetapi karena pengakuan dan bantahan dilakukan secara berbeda, tempat dan waktu serta sifatnya, sulit diandalkan untuk melokalisir fenomena ini sebagai masalah biasa.

Apakah fenomena ini diidentifikasi oleh Pak Komjen Polisi (Purn) Sofjan Jacoeb? Kala bersama Pak Prabowo dan Pak Sandi berkampanye di Stadion Delta Siduarjo Jawa Timur, Pak Jacoeb meminta Polisi netral dalam pemilu. Polisi yang tidak netral, katanya, berarti penghianat demokrasi.

Jangan Mempermalukan

Pak Kapolri, saya cukup yakin, tak perlu diminta, pasti akan menemukan cara yang tepat menangani masalah ini. Tindakan, entah apapun bentuknya, saat ini terasa diperlukan untuk diambil, dilakukan secara jujur, terukur dan terbuka. Masyarakat, tidak hanya di Jawa Barat, apalagi Garut, dan NTB,  tetapi seluruh Indonesia perlu diberi kepastian bahwa Polisi, dalam Pilpres ini tidak berpihak pada Pak Jokowi.

Langkah Pak Kapolri memastikan netralitas Polri, yang diwujudkan melalui TR yang telah dikeluarkan beberapa waktu lalu, demi republik, memanggil, dalam kesempatan pertama, penegakan secara terukur, jujur dan terbuka. Tanpa tindakan yang jujur, terukur dan terbuka, TR hebat itu akan dinilai sebagai media kamuflase; netral di atas kertas, di lapangan berpihak. Tindakan ini diperlukan untuk merevitalisasi legitimasi sosiologis keberadaan polisi di TPS, penghitungan suara di kecamatan, pengitungan suara di KPU kabupaten dan provinsi.

Perintah memenangkan Pak Jokowi, semoga tidak benar, tidak mungkin, dengan alasan apapun,  menjadi perintah yang legitim dan legal dalam sifat dan substansi dengan prinsip republik, sebutan yang disematkan juga kepada Kepolisian. Demokrasi memang memiliki sejumlah cacat, tetapi dalam situasi apapun, demokrasi dan negara hukum demokratis, tetap  menempatkan kebutuhan mengontrol perilaku penguasa.

Demokratisasi polisi, sama sekali, dan kapanpun tidak pernah bernilai hanya menata, menempatkan, dan menyesuaikan oranisasinya dalam bingkai konstitusi, tata negara. Demokratisasi polisi bukan konsep normatif. Demokratisasi polisi, selalu seperti itu adalah cara melembagakan hasrat republik, hasrat perlakuan yang sama, berinduk pada hukum, tak menjadi alat memenangkan penguasa, termasuk Pak Jokowi.

Polisi yang tengah didemokratiskan oleh Pak Tito, Kapolri yang profesor doktor nan cerdas ini, karena relefansi paradigmatik -sejalan dengan hasrat republik yang prinsip-prinsip dasarnya dilembagakan dalam konstitusi- tak bisa dibiarkan lumpuh. Tidak. Saya yakin Pak Tito tak rela kredibilitas, modal demokratis tak ternilai kepolisian, yang perlahan-lahan telah tumbuh di bawah kepemimpinannya, tergerogoti.rmol news logo article

Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA