Rocky Gerung Dan Sofisme

Kamis, 14 Februari 2019, 06:38 WIB
BANYAK orang menyebut Rocky Gerung (RG) sedang beretorika ketika menyampaikan suatu wacana di ruang publik.

Misalnya, ia mengatakan kitab suci itu fiksi. Atau, beberapa pernyataan lainnya yang cenderung mengkritik pemerintah, khususnya Presiden Jokowi.

Jika kita mengacu kepada Aristoteles, al-Farabi atau Ibn Rusyd, karakter wacana yang disampaikan oleh RG itu sebetulnya bukan retorika, melainkan dialektika.

Pertama, retorika (khatabi) adalah jenis wacana yang bertujuan mempengaruhi perasaan pendengarnya untuk menyukai dan menyetujui apa yang disampaikan. Ini terjadi biasanya dalam pidato atau pembacaan deklamasi. Karakter ini juga mungkin muncul ketika kita sedang merayu seseorang atau melobby pihak tertentu.

Kedua, dialektika (jaddali) adalah jenis wacana yang bertujuan memenangkan perdebatan dengan cara melemahkan pendapat lawan. Karakter wacana dialektis ini biasanya terjadi dalam debat-debat teologis atau politis.

Dalam debat teologis, orang biasanya bertitik-tolak dari iman atau percaya pada sesuatu hal (biasanya dari kitab suci) untuk kemudian mencari berbagai pembenaran atau rasionalisasi untuk mendukung apa yang telah diimaninya itu.

Jika diperlukan, dibuat argumen-argumen untuk mengalahkan pandangan teologis lain yang berbeda dari pandangan miliknya.

Dalam debat-debat politis, tujuan yang hendak dicapai tentu saja kemenangan. Untuk itu, berbagai dalih perlu dibuat untuk memenangkan posisi politis yang didukunganya, sekaligus mengalahkan atau menyingkirkan lawan politiknya.

Pada masa Yunani Klasik, kaum sofis dikenal sebagai orang-orang yang pandai berdebat (dialektika) untuk mendapatkan bayaran uang atau keuntungan material lainnya.

Kaum sofis tidak peduli pada kebenaran, melainkan lebih tertarik pada kemenangan. Kaum sofis dan praktik sofisme akan membela atau memenangkan orang yang membayarnya.

Ketiga, demonstrasi (burhani) adalah suatu jenis wacana yang bertujuan untuk sampai pada kebenaran dengan cara memberikan bukti-bukti dan argumentasi rasional. Karakter wacana ini kemudian berkembang menjadi apa yang sekarang disebut sebagai wacana ilmiah.

Orang-orang yang biasanya menyampaikan wacana demonstratif ini adalah para faylasuf (filosof) dan ilmuwan. Dalam kerangka demonstrasi ini, mereka menyampaikan suatu wacana seobyektif mungkin, tanpa berpretensi untuk mempengaruhi perasaan seseorang atau mengalahkan lawan dalam suatu kompetisi. Para faylasuf tidak peduli pada kemenangan, karena mereka sangat mencintai kebenaran.

Karena pendapat-pendapat RG disampaikan dalam kerangka perdebatan di ruang publik dan mengkritik pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, maka sudah bisa dipastikan bahwa wacana RG bersifat dialektik (jaddali), bukan retorik, apalagi demonstratif.

Wacana RG bukan retorika, karena ia tidak sedang melakukan upaya-upaya persuasif untuk mendapatkan simpati, dukungan atau persetujuan atas apa yang disampaikannya. Kadang, apa yang disampaikannya justru menimbulkan kontroversi yang membuat banyak pihak tidak menyukainya. Ini misalnya terkait ungkapannya bahwa kitab suci itu adalah fiksi.

Wacana RG juga tidak bersifat demonstratif atau ilmiah, karena ia tidak menyampaikan kebenaran-kebenaran falsafi atau ilmiah apapun. Seandainya ia bersikap filosofis atau ilmiah, ia akan sampaikan keunggulan dan keterbatasan dari pemerintahan Jokowi seobyektif mungkin dilihat dari kaca mata filsafat politik. Karena itu, faylasuf atau filsuf bukan julukan yang tepat untuknya.

Sebagaimana telah dikatakan di atas, karakter wacana RG adalah dialektika, sebuah wacana yang bertujuan mendapatkan kemenangan dalam perdebatan atau kompetisi, entah itu teologis atau politis.

Pertanyaanya kemudian: kemenangan apa yang dinginkan RG dengan dialektika yang dilakukannya?

Tentu, ungkapan-ungkapan RG tidak tampak sebagai dialektika yang bersifat teologis. Sebab, tidak ada indikasi ia sedang membela suatu iman tertentu ketika menyampaikan pendapat. Bahkan, ia justru sering mengemukakan hal-hal yang terkait ketidakberimanan.

Jika bukan bersifat teologis, lantas apakah wacana dialektika yang dikemukakan RG itu bersifat politis?

Jika kita menempatkan dialektika RG pada momen kompetisi politik berupa Pilpres 2019, dugaan bahwa diaketika RG lebih bersifat politis cukup masuk akal. Terlebih, ia senantiasa melakukan kritik pada pihak Jokowi sebagai petahana, tapi ia nyaris tidak pernah terdengar melakukan kritik pada kompetitornya Jokowi pada pilpres nanti, yaitu: Prabowo.

Dengan demikian, terdapat dua hal yang bisa kita simpulkan dari ulasan di atas. Pertama, RG tidak sedang beretorika, juga tidak sedang berfilsafat dengan wacana yang bersifat demonstratif. Karenanya, mari kita berhenti memanggilnya sebagai filsuf.

Kedua, RG sedang melakukan dialektika yang bersifat politis, yakni mengemukakan berbagai wacana di ruang publik untuk menjatuhkan satu posisi politis tertentu, sekaligus mendukung posisi politis lainnya secara tidak langsung. Dalam hal ini, RG berupaya menjatuhkan Jokowi, dan sebagai akibatnya di saat yang sama ia telah menguntungkan posisi politis Prabowo sebagai kompetitornya Jokowi.

Jika benar demikian, RG sedang mempraktikan sofisme. Karena itu, ia sebetulnya sangat pantas disebut sebagai kaum sofis zaman ini. [***]


Iqbal Hasanuddin
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

< SEBELUMNYA

Dino Sang Ketua Ormas

BERIKUTNYA >

Barzakh itu Indah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA