Alam, kata para bijak memiliki bahasa sendiri, bahasa yang darinya keindahan-keindahan kemanusiaan menemukan maknanya. Keindahan itu, salah satunya, semua orang sama derajatnya, bukan sebagaimana dipraktikan di Eropa dan Amerika sampai pertengahan abad ke-20. Hingga abad itu, dibelahan kedua bumi itu eksistensi manusia masih tersusun menurut asal-usul. Belanda, tentu sebagai penjajah, tragisnya, mempraktekannya di Indonesia pada masanya.
Akal Sehat
Muncul sebagai reaksi atas tatanan feodal, tatanan yang memiliki defenisi khas tentang manusia; sebagian bereksistensi sebagai budak - benda yang dipertukarkan dan diperjualbelikan, negara hukum menolak supremasi kelompok, apapun alasan dan tujuannya. Perancis, melalui revolusinya yang terkenal pada tahun 1789 memimpin penolakan itu. Penolakan ini, dalam titah negara hukum bersifat absolut.
Tatanan baru itu dipagari dengan hukum, dan lembaga-lembaga baru. Lembaga pelaksana hukum, didefenisikan wewenangannya. Harus didefenisikan, karena wewenang diterima sebagai metode esensial negara hukum mendekatkan, membimbing dan menuntun aparatur hukum ke relung-relung kemanusiaan dalam bertindak, bukan sebaliknya main hantam, ngarang, sikat dan gebuk. Wewenang tidak pernah lain substansinya selain "membatasi."
Negaralah, tentu melalui aparaturnya, senang atau tidak, suka atau tidak, memonopoli wewenang menegakan hukum. Ini absolut sifatnya. Demi menghormati hak setiap orang, negara hukum mewajibkan aparatur negara yang hendak menegakkan hukum, terlebih dahulu memeriksa hukum yang menjadi dasar dan alasan tindakannya.
Hukum yang hendak digunakan mesti nyata dan masuk akal. Peristiwa yang dinilai melawan hukum juga mesti nyata, obyektif, dapat diperiksa oleh semua pihak yang berakal. Bukan tak bisa berkreasi, bertindak melampaui batas kewenangan konvensional, tetapi untuk hal itu pun negara hukum menentukan kriterianya. Begitulah cara negara hukum berikhtiar menjaga marwahnya.
Negara hukum, dimanapun, tidak meminta hal mustahil dari warga, juga aparaturnya. Negara hukum tidak membebankan hal mustahil menjadi tanggung jawab warga, juga aparaturnya. Tidak. Negara hukum hanya meminta dan atau membebankan "tanggung jawab hukum," yang secara alamiah "obyektif," dan dalam timbangan akal sehat. Praktis obyektifitas, bukan subyektifitas, yang diagungkan negara hukum.
Tak pernah, dimanapun, negara hukum meminta aparatur mengetahui niat seseorang dengan cara menyelami bathinnya. Tidak. Karena aparatur negara tidak hidup dalam bathin seseorang, maka negara hukum mengharuskan aparatur hukum meneliti secara saksama semua fakta. Faktalah yang bicara, menurut hukum, ada atau tidaknya niat atau kelalaian seseorang yang disangka melakukan peristiwa pidana, actus reus.
ObyektifTindakan main pukul, dengan alasan dan tujuan apapun, yang dilakukan oleh satu komunitas, sebut saja seperti Ku Klux Klan di Amerika, dihinakan oleh negara hukum. Tindakan sejenis tidak pernah menjadi impian negara hukum. Tidak di Indonesia, dimanapun negara hukum tidak menyediakan, sekecil apapun, ruang pembenaran kelompok warga, terorganisir atau acak bertindak atas nama, alasan dan tujuan apapun terhadap warga lainnya.
Begitulah cara negara hukum menemukan metode pengagungan kehidupan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Begitu pulalah negara hukum mengagungkan setiap manusia, baik sebagai individu merdeka maupun sebagai individu merdeka yang berhimpun dalam satu perserikatan. Begitu pulalah negara hukum memelihara, memadu, merangkai, menjaga jalinan hubungan antarwarga sebagai sesama manusia merdeka.
Adab negara hukum adalah adab orang merdeka, orang mulia, bukan adab bar-bar. Negara hukum, dalam mimpinya yang esensial hendak mengadabkan orang bar-bar, mengubahnya menjadi beradab, menundukan mereka pada nilai-nilai bersama yang serasi dengan keindahan kemuliaan manusia, dan berkhidmat padanya. Moralitas negara hukum adalah moralitas hukum, yang memiliki keserasian dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Bukan jenis dan atau ragam kelembagaan negara yang menandai tipikal negara hukum. Negara hukum menandai tipikalnya dengan hal-ihwal yang disebut diatas, dalam esensinya sebagai cara pengagungan dan pemuliaan terhadap manusia. Tak ada tuntutan menjadi orang bijak, negara hukum hanya meminta, sangat, setiap manusia menaati hukum, tahu hak dan kewajiban, yang dengan itu keadilan merekah menyinari kehidupan.
Demi marwahnya, negara hukum tak menujuk legitimasi sebagai sumber hak dan kewajiban. Negara hukum menunjuk hukum sebagai sumber lahirnya hak atau kewenangan, bukan legitimasi. Dalam negara hukum, legitimasi, sekali lagi, tidak pernah diakui sebagai konsep hukum. Konsep ini sepenuhnya bersifat sosiologis, dengan konsekuensi legitimasi tak bisa ditunjuk sebagai pembenar lahirnya kewenangan menindak siapapun yang dicurigai memiliki niat jahat.
[***] Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas KHairun Ternate.