Wakil Ketua BAM DPR RI, Adian Napitupulu mengatakan, penataan ulang regulasi transportasi online yang berkeadilan penting untuk dilakukan. Sebab, itu menyangkut nasib sekitar 20 juta jiwa rakyat yang bergantung pada sektor transportasi online.
"Ada perubahan yang bisa berjalan ke depan dari pembicaraan ini, walaupun sebenarnya saya juga agak ragu. Kalau kita lihat komposisinya, di sini ada DPR RI yang membuat Undang-undang, ada Korlantas nanti yang mengawasi pelaksanaannya di lapangan, ada Kemenhub yang membuat regulasi Permenhub," ujar Adian dalam acara FGD, Rabu 14 Mei 2025.
Adian yang juga Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 1998 (Pena '98) ini menekankan, forum tersebut harus fokus pada peningkatan kesejahteraan pengemudi, bukan sekadar perdebatan istilah.
"Sebenarnya yang mereka (driver online) inginkan hari ini, mendengar bagaimana nasib anak kami, bagaimana nasib istri kami, bagaimana sekolah anak kami. Itu artinya bicara bukan nama, bukan istilah, tapi pendapatan," tegasnya.
"Sederhananya, ada lima juta driver online dalam catatan kami. Kalau rata-rata punya dua anak berarti ada 10 juta jiwa. Kalau rata-rata punya satu pasangan hidup, ada lima juta lagi. Jadi pembicaraan kita di ruangan ini sedikit banyak akan menentukan paling tidak 20 juta jiwa di sana," imbuh Adian.
Adian menyatakan, bahwa pertemuan dengan berbagai pihak selama ini belum menghasilkan perbaikan konkret bagi para pengemudi online.
"Saya tidak mau pertemuan yang kesekian kalinya ini berlaku hal yang sama. Saya mau kita fokus pendapatan mereka, karena anak mereka, istri mereka, keluarga mereka tidak makan dari istilah-istilah itu, mereka makan dari pendapatannya," ujar pentolan Aktivis Forum Kota (Forkot) ini.
Sementara itu, Direktur Angkutan Jalan Perhubungan Darat Kemenhub, Mustohir, dalam paparannya menjelaskan beberapa aspek penting terkait transportasi online.
"Kami terus melakukan upaya harmonisasi regulasi transportasi online, mengingat tantangan yang semakin kompleks di era digitalisasi. Regulasi eksisting memang perlu ditinjau kembali, untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat," kata Mustohir.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Kemenaker, Indah Anggoro Putri, memaparkan isu hubungan kerja dalam transportasi online.
"Ada perbedaan mendasar antara konsep hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan dengan kemitraan di
gig economy. Kami sedang menggodok inisiatif perlindungan pekerja sektor informal termasuk driver online," ujar Indah.
Ada hal menarik ketika Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, berbicara tentang
gig economy. Di mana para peserta FGD melakukan aksi protes dengan berteriak sambil duduk berputar menghadap ke belakang.
"Gig economy merupakan fenomena global yang mengubah paradigma hubungan kerja tradisional. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain, dalam mengatur hubungan kerja pekerja
gig economy, namun tetap memperhatikan konteks lokal," ucap Agung di tengah aksi protes.
Dalam forum tersebut, komunitas pengemudi online menyampaikan lima aspirasi utama. Pertama, mereka meminta Kemenhub untuk menaikkan tarif sebesar 10 persen karena selama tiga tahun tidak ada kenaikan. Kedua, para driver menginginkan status sebagai pekerja, jaminan sosial ketenagakerjaan, serta payung hukum sebagai pekerja.
Aspirasi ketiga, para driver berharap Korlantas Polri menyediakan payung hukum terkait faktor keselamatan di setiap daerah. Keempat, mereka meminta segera ada keputusan untuk menurunkan pajak aplikasi dari 20 persen menjadi 10 persen. Terakhir, mereka menuntut negara hadir memberikan perlindungan kepada kaum disabilitas driver online.
Setidaknya 12 perkumpulan ojek online hadir dalam forum tersebut. Di antaranya Serikat Pengemudi Online Indonesia (Sepoi), Koalisi Ojol Nasional (KON), Forum Komunitas Driver Online Nasional (FKDOI), Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski), dan berbagai asosiasi pengemudi online lainnya.
Acara FGD ini juga dihadiri oleh perwakilan Kemendigi, Kemenhub, Kemenaker, Korlantas Polri, perwakilan Aplikator Maxim, sementara Aplikator Grab dan Gojek absen.
BERITA TERKAIT: