“Indonesia sendiri masih sangat jauh dari konteks gagal sistemik ini. Dari sisi belanja kesehatan dan pendidikan, mungkin, hampir dua kali lipat dari bayar bunga pinjaman tiap tahunnya,” ujar Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan kepada wartawan, Selasa (25/7).
Maftuch, sapaan akrabnya, ikut menyoroti pembahasan istilah negara gagal sistemik yang mengacu pada laporan Perserikatan Bangsa Bangsa berjudul
A World of Debt.
Laporan PBB, utamanya, menyoroti tingginya utang publik dunia yang mencapai 92 triliun dolar Amerika Serikat (AS) pada 2022. Kini 3,3 miliar penduduk dunia hidup di negara yang membelanjakan lebih besar uangnya untuk membayar bunga utang dibanding belanja kesehatan atau pendidikan.
Maftuch mengatakan, konteks gagal sistematis dalam laporan PBB ini merujuk pada Arsitektur Keuangan Internasional (IFA) yang tidak setara. Ketidaksetaraan ini membuat negara-negara miskin dan berkembang harus membayar bunga utang yang tinggi untuk bisa mendapatkan pinjaman.
“Yang disampaikan PBB soal negara gagal sistemik itu lebih ke aspek risiko yang sistematis. Konteksnya adalah risiko sistematis pada
global financial system atau di
International Financial Architecture atau IFA,”ujarnya.
Menurutnya, laporan PBB itu sedang menekankan bahwa ada yang bermasalah dalam sistem keuangan global yang ada saat ini.
“Ada yang salah dalam arsitektur keuangan internasional kita. Yang dianggap kegagalan sistematis ini adalah pasar keuangan global atau sistem keuangan global,”tuturnya.
Dalam konteks Indonesia, lanjutnya, data pada tahun 2022 menunjukkan bahwa belanja kesehatan dan pendidikan Indonesia jauh lebih tinggi dibanding membayar bunga utang.
Pada tahun itu bunga utang yang harus dibayar Indonesia sebesar Rp386,3 triliun. Sementara belanja pendidikan dan kesehatan Indonesia pada tahun yang sama, mencapai Rp649,3 triliun.
“Kita tidak mau politis, faktual saja. Kalau membaca laporan PBB ini tidak menunjuk Indonesia sebagai negara yang gagal,” demikian Maftuch.
BERITA TERKAIT: