Jokowi tampil dengan susunan pemain yang berbeda dengan leg pertama. Kali ini dia berpasangan dengan Ma'ruf Amin. Di leg pertama dengan Jusuf Kalla. Kali ini ada pemain tambahan pindahan dari Prabowo yaitu Golkar dan PPP. Ditambah pemain-pemain debutan baru seperti Perindo, PSI. Sedang pemain lawasnya antara lain PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI.
Tim ini ditukangi manajer tim debutan baru Eric Thohir. Anak muda yang hebat, cerdas, sukses di bisnis olah raga dan media maupun bisnis lain. Kini dia mendapat tantangan baru mengkonversi kehebatannya di bidang bisnis ke bidang politik, Pilpres. Kalau di bola, dia tipikal pelatih Kroasia Zlatko Dalic. Sangat atraktif. Bisa teriak-teriak di pinggir lapangan memberi instruksi pemainnya. Kalau perlu mengambilkan bola pemainnya.
Tim Prabowo turun dengan formasi berbeda dengan leg pertama. Kali ini Prabowo mengganden Sandiaga Salahuddin Uno. Sedang tahun 2014 dengan Hatta Rajasa. Ditinggal Golkar dan PPP, mendapat rekrutan baru Demokrat dan Partai Berkarya. Demokrat ibarat pemain bintang yang sarat pengalaman, tapi di leg pertama absen. Sedang Partai Berkarya ini debutan baru sama sekali. Adapun pemain lamanya Gerindra, PAN dan PKS.
Tim ini ditukangi pelatih senior yang sudah pengalaman di politik, Jenderal TNI (pur) Djoko Santoso. Mantan Panglima TNI sudah masuk jajaran manajemen Probowo di leg pertama. Memiliki kematangan, pengalaman, wawasan yang luas dan wisdom. Dia ditantang mengkonversi ilmu strategi militernya di Pilpres ini. Kalau di bola, gayanya seperti pelatih senior asal Italia Giovanni Trapattoni. Cool, wibawa.
Percaya Diri Di awal pertandingan ini tim Jokowi tampil sangat percaya diri. Kemenangan di leg pertama menjadi modal kuat. Tetapi sebagai sebuah tim memang masih belum solid benar. Harus saling menyesuaikan di sana sini. Maklum karena ada pemain-pemain baru. Bahkan pemain lama pun butuh solidasi. Misalnya, ada nuansa sikut-sikutan PDIP dengan Nasdem terkait jatah impor bahan pangan.
Golkar semula berada di lini depan karena sebagai partai pertama yang mengusung Jokowi. Tapi kini cenderung bergeser di lini belakang. Sedikit meriang. Rupanya kondisinya belum pulih benar akibat benturan dengan tiang listrik yang menyebabkan dahinya benjol sebesar bakpao. Golkar ibarat pemain yang mengalami cidera engkel akibat menterinya, Idrus Marham dicokok KPK.
Di samping itu, mulai didera masygul karena suaranya menurut lembaga survei merosot. Tidak mendapatkan keberuntungan dari efek Jokowi-Ma'ruf Amin.
PPP ibarat pemain yang takut cidera. Maklum menurut survei partai kawakan ini terancam gagal meraih ambang batas parlemen. Dia mengusung Jokowi sejak awal, andil menggusung Ma'ruf Amin tetapi tidak mendapat efek keberuntungan. Untuk itu seperti tinggal memimpikan rembulan jatuh.
Kehadiran pemain muda PSI memang masih jauh dari tune in di tim. Malah terkadang kelewat over aktif dan pencilakan, bahkan
ngawur. Bola di kaki kawan sendiri direbut. Pergerakan tanpa bola caper alias cari perhatian. Sepertinya bisa menggoreng bola sambil
ciak beling. Konyolnya, mendendang bokong kawan sendiri. Kritiknya terhadap partai-partai lama, tak ayal lagi menohok kawan satu koalisi.
Hanura dan PKPI masih lumayan meskipun seperti sudah tahu ini bisa jadi pertandingan terakhir bagi mereka. Seluruh lembaga survei menempatkan keduanya di bawah ambang batas parlemen. Suasana kebatinannya seperti pegawai yang hendak pensiun sambil mengharap mendapat pesangon.
Sementara Perindo seperti pemain yang demam lapangan. Bingung tidak tahu harus berbuat apa. Bola yang seharusnya ditendang malah cuma dipelototi sambil
ngupil dan
gumoh. Sesekali kalau temannya teriak, ikut teriak.
Beruntung kesebelasan Jokowi memiliki motor permainan yang hebat, agresif, memiliki
skill yang tinggi, pengalaman dan bersemangat tinggi yaitu PDIP, PKB dan Nasdem. Mereka bekerja cukup efektif meski belum kompak benar.
PDIP sangat solid, semangat tinggi. Apalagi seluruh efek keberuntungan Jokowi
tumplek blek kepadanya sehingga di lembaga survei tercatat di peringkat pertama dengan kenaikan sampai 7 persen.
Demikian pula PKB semakin bersemangat karena mendapat efek Ma'ruf Amin. PKB di dalam perhitungan lembaga survei berada di urutan ketiga mengunggui Golkar dan Demokrat. PKB bersemangat tinggi meski ketua umumnya gigit jari tidak menjadi cawapres.
Konflik InternalSementara di tim Prabowo, Gerindra menjadi playmaker dan motor tim. Di samping karena capresnya adalah ketua umumnya, juga mendapat efek dari pencalonan Prabowo. Menurut lembaga survei, Gerindra menyodok di urutan kedua.
PKS ibarat pemain yang tidak fit akibat mencret-mencret. Konflik internal, penggerogotan oleh faksi Anis Matta membuat tidak bisa fokus bermain. Meskipun memiliki semangat tinggi, punya etos kerja
all out, tapi kalau stamina kedodoran, ditambah masih mencret pasti loyo. Tapi tidak sontoloyo.
PAN tampil gundah karena harus menghadapi ancaman terlempar dari parlemen sesuai hasil survei. PAN belum mendapat efek Prabowo-Sandi. Partai besutan Amin Rais ini juga sedang kliyeng-kliyeng, puyeng seperti habis menelan biji kecubung karena Wakil Ketua Umumnya ditahan KPK.
Pemain baru tapi stok lama, Demokrat masih kelihatan ragu-ragu, menggunakan perhitungan yang jelimet sehingga susah dibedakan main bola apa main catur. Partai ini bermain di dua kaki. Satu kaki ingin sukses di Pilpres, kaki lainnya di Pileg. Apalagi berdasar survei suaranya merosot. Sekalipun berada di tim, Demokrat lebih sering melakukan akrobat individual untuk mencuri perhatian penonton.
Sedang Partai berkarya ibarat pemain karambol yang tiba-tiba harus main bola. Hanya berdiri terpaku di lapangan. Tolah-toleh tidak tahu bola itu ditendang apa didorong pakai bokong seperti kumbang tahi. Tapi dia bisa menjadi pemain yang bersikap manis. Cukup nggludung semprong. Temannya lari ke utara ikut ke utara, temannya jalan kaki juga ikut jalan kaki. Tidak sampai nyrimpung kawan seiring.
Catenaccio Vs Taka Tiki Pelatih Eric Tahir tampaknya memilih bermain defensif dengan pola pertahanan gerendel atau catenaccio. Ini strategi klasik tim nasional Italia. Bisa dimaklumi karena Eric adalah salah satu pemilik klub Inter Milan. Di Piala Dunia 2018 strategi ini diterapkan Rusia sistem pertahan bus parkir atau pertahanan tembok. Begitu unggul segera memarkir 9 pemainnya di jantung pertahanan.
Strategi ini memang biasa dipergunakan oleh tim yang sudah dalam posisi unggul. Intinya mengharamkan lawan mendekati daerah penalti. Jika perlu, tebas kaki lawan untuk menghentikan jalannya bola. Jika bisa mempertahankan posisinya seperti hasil survei, Jokowi menang.
Bintang utamanya, Jokowi ditempatkan sebagai striker murni atau goal getter. Sementara, bintang kedua Ma'ruf Amin justru dimainkan di zona pertahanan. Tugasnya cukup menjaga basis utamanya, NU dan umat Islam.
Dia tidak dibebani untuk bermain seperti bek Real Madrid Marcelo yang bisa melakukan overlapping, menjadi palang pintu yang kokoh sekaligus pengobrak-abrik pertahanan lawan. Dan memberi
assist kepada
goal getter. Ma'ruf tidak memiliki stamina dan kecepatan untuk melakukan
overlapping dan aksi invidual atraktif di lapangan. Kalau dipaksa bergaya milenial malah kelihatan wagu, kaku dan lucu.
Jokowi itu dalam bola seperti Messi. Skil tinggi, pengalaman, naluri juaranya kuat dan haus gol. Kecepatan larinya juga luar biasa. Cerdas membaca peluang. Licin untuk keluar dari sergapan lawan. Tapi sayang, konstelasinya tidak seperti ketika Messi di Barcelona yang moncer seperti bulan di antara bintang gemintang. Tetapi seperti Messi ketika bermain di timnas Argentina. Tidak bisa moncer.
Nah, Jokowi saat ini seperti Messi main di tim Argentina. Belum moncer karena dukungan tim yang kurang. Banyak pemain yang memiliki agenda sendiri-sendiri sehingga tidak luruh padu menjadi tim yang utuh atau tidak
manjing, ajur dan
ajer. Di timnya ada pemain yang seperti Aguero dan Angel di Maria yang cenderung bermain individual. Ada persaingan internal antara Javier Mascherano dengan Lucas Biglia.
Akhirnya Messi harus mencari bola sampai turun di belakang. Kemudian digiring sendiri ke depan. Jokowi terlihat harus menjemput isu, mengolah sendiri, menframing bahan kampanye sendiri. Assist dari timnya kurang.
Sementara pelatih Djoko Santoso menempatkan Prabowo sebagai goal getter seperti Miroslav Klose di Jerman. Dia beroperasi di zona penalti lawan dengan banyak melakukan pergerakan dengan bola maupun tanpa bola. Sampai ada kritik dari Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief bahwa Prabowo malas turun ke daerah-daerah.
Djoko memposisikan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai play maker. Dia pemain muda, brilian, konsisten dan semangatnya tak pernah kendor. Memiliki
skill yang tinggi dan mampu beratraksi di lapangan yang menarik decak kagum penonton, khususnya emak-emak, calon emak-emak dan kaum milenial.
Sandi memiliki mobilitas yang tinggi. Dengan kecepatan dan kegesitannya dia bisa menjelajah di seluruh lini. Sebentar di sayap kanan, tiba-tiba sudah di sayap kiri. Sesaat membantu lini pertahanan, tiba-tiba sudah menusuk jantung penalti lawan. Dia seperti Andres Iniesta di timnas Spanyol ketika menjadi juara dunia tahun 2010.
Keberadaan Sandi cocok dengan strategi taka tiki yang diterapkan Djoko. Bagaimana mendominasi b
all possession. Operan-operan bola pendek dari kaki ke kaki sehingga bola seperti menari dalam irama musik yang rancak.
Strategi ini cocok untuk menghadapi tim yang tangguh dengan pertahanan
catenaccio yang kokoh, sekaligus untuk menerobos celah yang rapuh. Untuk memandulkan pemain bintang lawan agar tidak sampai bisa menguasai bola. Sebab begitu menguasai bola, sangat berbahaya.
Strategi ini sepertinya juga disesuaikan dengan kondisi tim logistiknya cingkrang. Coba kalau menggunakan strategi total
football ala Rinus Michels atau
pressing football ala Sir Alex Ferguson, bisa-bisa nyungsep di tengah permainan karena kehabisan stamina.
Awas Hooligans
Semakin lama pertandingan ini semakin menarik. Bisa mengundang decak kagum melihat atraksi individual pemain yang memiliki
skill tinggi. Sekaligus membuat terpingkal-pingkal karena tidak sedikit pemain yang lucu lebih dari pemain
stand up comedy sehingga mestinya lebih cocok main di turnamen Galatawa. Juga adegan-adegan lucu seperti trick, diving, pura-pura gila atau cidera, yang menyumpah-nyumpah sampai merintih-rintih, yang marah-marah sampai yang kemenyek.
Tentu saja bisa semakin panas. Tatkala emosi pemainsemakin meningkat akan muncul
tackling-tackling keras. Bahkan sikut nyasar di mulut lawan. Dengkul menerjang perut. Tatkala penonton semakin liar akan saling bully, misuhi, mengolok-olok.
Kunci utama agar pertandingan tetap menarik, enak ditonton, aman sampai selesai manakala seluruh pemain menjaga
fairplay. Kalau hal ini sebagai hal yang sulit karena pada dasarnya meraka menyimpan energi curang, maka kuncinya pada wasit, hakim garis, pengawas pertandingan yang harus benar-benar adil. Sedikit saja wasit atau hakim garis berbuat tidak adil alias zalim, bisa memicu pemain tawuran.
Yang harus diwaspadai pula adalah munculnya
hooliganisme. Penonton yang baik-baik bisa-bisa mendadak sontak berubah menjadi
hooligans. Karena peristiwa bola itu melibatkan emosi secara sangat intens. Atau memang ada penyusupan
hooligans.
Mengantipasi dan mereaksi
hooliganisme ini menjadi tugas dan otoritas polisi. Tidak perlu melibatkan milisi-milisi karena keterlibatan mereka yang petentang-petenteng malah bisa memicu kesebalan menjadi kekesalan dan akhirnya kemarahan.
Polisi yang harus cepat, tanggap, tegas dan adil. Sangat berbahaya kalau polisi lambat dan tidak tegas. Apalagi tidak adil atas suporter satu dengan yang lain. Dan yang paling berbahaya kalau malah polisi menjadi
hooligans. Stadion yang megah, damai meriah berubah menjadi neraka jahanam.
Allahu a'lam bisshawab.
[***]
Anwar HudijonoPenulis adalah wartawan senior
BERITA TERKAIT: