Jumat, 26 Desember 2025, 20:37 WIB
RMOL. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru resmi diberlakukan di Indonesia mulai 2 Januari 2026, menggantikan regulasi warisan kolonial yang selama puluhan tahun menjadi rujukan penegakan hukum.
Tak sekadar mengganti aturan lama, perubahan ini dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi paradigma hukum. KUHP baru meninggalkan konsep hukum pembalasan (retributive justice) yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda sejak ratusan tahun lalu.
KUHP baru menekankan pendekatan restorative justice. Dalam konsep ini, pemidanaan tidak semata berorientasi pada efek jera melalui hukuman balasan, tetapi lebih fokus pada pemulihan pihak-pihak terkait dengan pendekatan humanis dalam perkara pidana, baik pelaku, korban, keluarga, maupun lingkungan sosial.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Meity Rahmatia, menyebut bahwa pemidanaan dalam KUHP baru mengutamakan pencegahan, memasyarakatkan terpidana, menyelesaikan dampak atau konflik akibat tindak pidana, serta memulihkan perdamaian di tengah masyarakat.
“Hal itu dijelaskan dalam Pasal 51 KUHP baru. Selain itu, bentuk hukuman juga tidak selalu berupa pidana penjara, tetapi dapat diganti dengan hukuman alternatif seperti kerja sosial di luar lembaga pemasyarakatan,” katanya lewat keterangan resminya, Jumat, 26 Desember 2025.
Menurut Meity, salah satu tujuan utama penerapan pendekatan baru dalam KUHP adalah mengurangi persoalan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
“Kita menghadapi persoalan besar dalam pengelolaan lapas dan rutan, yaitu kelebihan kapasitas yang selama ini sulit diatasi karena keterbatasan sumber daya. Dengan diberlakukannya KUHP baru, saya sebagai mitra Kementerian Hukum di DPR RI berharap persoalan ini dapat terurai,” jelasnya.
Namun demikian, di tengah antusiasme menyambut perubahan ini, politisi Partai Keadilan Sejahtera tersebut juga menyampaikan kekhawatirannya terkait kesiapan aparat penegak hukum (APH), khususnya di lapas dan rutan, dalam mengimplementasikan KUHP baru.
“Terus terang, saya masih memiliki kekhawatiran terhadap kesiapan aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya di lapangan. Misalnya, dalam penerapan hukuman alternatif di luar lapas dan rutan. Bagaimana metode dan manajemen pelaksanaannya agar tujuan pemidanaan restoratif benar-benar tercapai,” ungkapnya.
Selain itu, pendekatan hukum dalam KUHP baru juga menuntut pendekatan multidisiplin, terutama pendekatan sosiologis dan psikologis, seperti pembangunan resolusi konflik, pemberdayaan, dan pendampingan sosial.
“Artinya, aparat penegak hukum juga harus menguasai pendekatan-pendekatan tersebut. Saya membayangkan ke depan kerja aparat penegak hukum akan lebih menyerupai kerja organisasi masyarakat sipil dalam pemberdayaan masyarakat,” tambah Meity.
Meity pun meminta Kementerian Hukum, Kementerian HAM, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta lembaga terkait lainnya untuk melakukan koordinasi secara intensif.
“Mereka harus menyiapkan aparatnya secara total agar mampu melaksanakan perintah KUHP baru ini secara efektif,” pungkasnya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.