Senin, 22 Desember 2025, 07:10 WIB
Milad ke-108 Persatuan Ummat Islam (PUI). (Foto: CAT)
KEMARIN, 21 Desember, udara terasa lebih jinak dari biasanya. Angin pagi mengalir semilir. Ahad pula. Hari libur. Sepuluh hari terakhir tahun 2025 yang secara metafisik selalu membawa dua watak sekaligus: rasa capek kolektif dan harapan yang sok-sok baru.
Kalender 2025 mulai gelisah, jam dinding berdetak dengan nada evaluatif, dan manusia sibuk menutup buku besar hidupnya -- meski sering lupa isinya apa.
Bagi warga Persatuan Ummat Islam (PUI), hari kemarin bukan sekadar Ahad penutup tahun. Ini hari ulang tahun. Bukan ulang tahun biasa, tapi yang ke-108. Sebuah usia yang kalau ormas ini manusia, sudah pantas dipanggil "mbah", tapi masih rajin bangun subuh dan belum pikun ideologis.
Secara
de jure, PUI tercatat di lembaran administrasi Pemerintah Hindia Belanda pada 21 Desember 1917 (6 Rabiul Awwal 1336 H). Sebuah tanggal yang mengingatkan kita bahwa kolonialisme pun rajin mencatat, meski sering salah paham.
Tapi secara
de facto, PUI sudah lebih dulu lahir di Majalengka, sekitar 1911. Artinya, sebelum dicap resmi oleh negara kolonial, ia sudah hidup, bernapas, dan bergerak di tengah masyarakat. Seperti banyak hal penting dalam sejarah bangsa ini: ada dulu baru diakui kemudian.
Yang menarik, bahkan hingga hari ini, PUI tidak menonjolkan diri lewat teriakan politik atau branding ideologis yang heboh. Ia justru menyimpan satu "kata kunci" yang terdengar sunyi, tetapi berat maknanya:
Intisab.
Ini kata Arab yang akarnya
na-sa-ba, bernasab, berhubungan, berikatan. Dalam bahasa sosial: solidaritas. Dalam bahasa spiritual: mengikatkan diri sepenuhnya kepada Allah. Bukan sekadar afiliasi organisasi, tapi ikatan eksistensial.
Kalau ada yang ingin tahu "apa ideologi PUI?", warga PUI biasanya tidak mengeluarkan manifesto tebal. Mereka cukup menunjuk satu kalimat:
Allahu ghayatuna. Allah adalah tujuan hidup kami. Selesai. Tidak perlu
slide PowerPoint. Tidak perlu seminar dua hari satu malam.
Bahkan teks
Intisab itu sendiri dimulai dengan kalimat yang terasa seperti akad nikah spiritual:
Nu‘ahidulLah… Kami berjanji kepada Allah.
Menariknya, teks utama Intisab ini tidak jatuh dari langit Majalengka begitu saja. Ia diadopsi dari karya seorang sufi Mesir, Mahmud Abul Faydh al-Manufi, lewat kitab
al-Washiyyah adz-Dzahabiyyah. Ini menandakan satu hal penting: sejak awal abad ke-20, para pendiri PUI seperti KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi sudah terkoneksi dengan jaringan intelektual dan spiritual Timur Tengah. Sanadnya jelas. Jalurnya hidup.
Lebih menarik lagi, jalur itu bersinggungan dengan tarekat
Syadziliyah -- tarekat yang di Nusantara dikenal lewat wirid-wirid populernya seperti
Hizb Nashr dan
Dalailul Khairat. Bacaan yang sering dilantunkan, bahkan oleh mereka yang tidak merasa "bertarekat".
Tapi di sinilah keunikan PUI: meski akarnya menyentuh dunia tarekat, ia tidak menjadikan satu tarekat pun sebagai identitas formal organisasi.
PUI tidak memilih tarekat atau jalan tasawuf yang berlabel. Ia memilih
tasawuf yang bekerja. Tasawuf yang menyatu dengan gerak organisasi, bukan tasawuf yang berdiri sebagai klub eksklusif.
Di PUI tidak ada baiat massal. Tidak ada seragam wirid. Tidak ada kewajiban amaliah tarekat tertentu. Warga PUI dibebaskan menempuh jalur spiritualnya masing-masing, selama intinya sama: tauhid yang lurus dan akhlak yang hidup.
Di sinilah Intisab bekerja sebagai semacam "tasawuf konstitusional".
Allahu ghayatuna -- Allah tujuan kami -- bukan jargon spanduk, tapi orientasi batin.
Al-ikhlas mabda-una -- ikhlas sebagai titik berangkat -- menjadi syarat awal sebelum bergerak, bukan slogan penutup setelah proyek selesai.
Ungkapan
Intisab Al-ishlah sabiluna --perbaikan sebagai jalan -- membuat tasawuf PUI tidak larut dalam ekstase, tetapi turun ke kerja sosial. Dan
al-mahabbah syi‘aruna -- cinta sebagai syiar -- menjadikan hubungan antarmanusia bukan sekadar struktur organisasi, tapi relasi batin.
Istilah-istilah seperti
tawakkal, shidq, dan
yaqin yang melekat dalam teks Intisab bukan hiasan puitik. Ia adalah perangkat psikologis dan spiritual yang membuat gerakan ini tahan lama. Tawakkal mencegah panik. Shidq menjaga integritas. Yaqin memberi daya tahan.
Kalau mau jujur, ini semua adalah kosa kata tasawuf klasik yang dioperasionalkan dalam kehidupan organisasi modern. Maka, bolehlah kita menyebutnya: tasawuf tanpa nama.
Mencari tarekat di PUI itu seperti mencari air di laut Jawa. Bukan karena airnya tidak ada, tapi karena terlalu banyak. Ia hadir sebagai etos, bukan sebagai label. Sebagai kebiasaan, bukan sebagai papan nama.
Tasawuf di PUI tidak diumumkan lewat brosur, tapi dirasakan lewat cara orang bekerja, berkhidmat, dan bertahan tanpa banyak drama spiritual.
Siapa pun yang datang dengan kacamata formalistik -- mencari wirid khusus, baiat resmi, atau struktur mursyid -- mungkin akan pulang dengan rasa "kok sepi?". Padahal ia sedang berdiri di tengah samudra nilai-nilai sufistik yang bekerja diam-diam.
PUI seakan berkata pelan: ruh lebih penting dari atribut. Spiritualitas yang sejati tidak perlu banyak dideklarasikan, karena terlalu sering, yang paling berisik justru yang paling rapuh.
Tasawuf ala PUI tidak mengajak lari dari dunia, tapi melatih hidup di dalamnya tanpa diperbudak olehnya.
Zuhud diartikan sebagai kebebasan batin, bukan kemiskinan simbolik. Ikhlas bukan jargon motivasi, tapi ujian harian -- saat kerja tak dilihat, saat jasa tak dicatat, saat nama diri harus mundur.
Tasawuf semacam ini tidak melahirkan pribadi yang melayang-layang, tapi manusia yang stabil, sabar, dan sanggup memikul amanah sejarah. Ia tidak membangun menara gading spiritual, melainkan fondasi batin kolektif. Ia sunyi, tapi keras kepala dalam kebaikan.
Maka pada usia 108 tahun ini, PUI seolah sedang mengajari kita satu pelajaran sederhana tapi mahal: bahwa spiritualitas tidak selalu harus bernama, tidak selalu harus beratribut, dan tidak selalu harus berisik. Kadang ia justru paling kuat ketika menjadi napas -- diambil tanpa disadari, tapi tanpanya kita mati.
Tahun 2025 boleh segera ditutup. Kalender boleh berganti. Tapi Intisab mengingatkan kita bahwa yang paling penting bukan pergantian angka, melainkan ke mana diri ini bernasab. Dan barangkali, di dunia yang makin riuh oleh identitas dan klaim, kesetiaan sunyi semacam inilah yang justru paling revolusioner.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.