Rachel Corrie baru berusia 24 ketika itu. Bungsu dari tiga bersaudara ini lahir di kota Olympia di negara bagian Washington, Amerika Serikat, pada 10 April 1979. Di kampung halamannya ia dikenal sebagai aktivis perdamaian dan kemanusiaan. Tamat dari Capital High School, ia melanjutkan pendidikan ke Evergreen State College. Ia sempat menjadi sukarelawan Korps Konservasi Washington dan kerap mengunjungi pasien yang mengalami gangguan mental.
Di Evergreen State College, Rachel Corrie bergabung dengan kelompok Olympian untuk Perdamaian dan Solidaritas. Lalu bergabung dengan Gerakan Solidaritas International (ISM) yang mempromosikan cara non-kekerasan dalam menghadapi kebijakan represif Israel di Jalur Gaza.
Menjelang akhir studi di Evergreen State College, Rachel Corrie mengajukan proposal studi independen ke Gaza. Dia berencana bergabung dengan aktivis IMS lainnya dari berbagai negara untuk menghentikan penggusuran pemukiman orang Palestina ketika itu. Ia juga berinisiatif membangun hubungan
sister city antara kota kelahirannya dengan Gaza. Sebelum berangkat ke Gaza, Rachel sempat mengorganisir aktivitas sahabat pena antara anak-anak Gaza dan Olympia.
Rachel Corrie berangkat ke Gaza pada 22 Januari 2003. Setelah menginap satu malam di Jerusalem Timur, ia mengikuti pelatihan sigkat di markas ISM di Tepi Barat, sebelum akhirnya berangkat ke Rafah untuk bergabung dengan aktivis ISM lainnya.
Bersama seorang temannya yang juga berasal dari Olympia, William Hewwit, Rachel Corrie tiba di Jalur Gaza melalui pos pemeriksaan Erez pada 27 Januari.
Rachel berada di Gaza pada masa yang kemudian dikenal sebagai Intifada Kedua. Ini adalah gelombang perlawanan besar bangsa Palestina sepanjang konflik dengan Israel yang dimulai pada akhir 1940an. Intifada Kedua terjadi antara 2000 hingga 2005, di akhir masa pemerintahan Ehud Barak dan sepanjang masa pemerintahan Ariel Sharon dari kubu konservatif.
Sebelum Intifada Kedua, sempat terjadi "
negative peace" atau keadaan tanpa kekerasan antara pihak Israel dan pejuang Palestina yang cukup lama sejak Intifada Pertama yang dimulai pada 1987 berakhir di tahun 1993. Sekitar 3.000 orang Palestina dan 1.000 orang Israel tewas dalam gelombang kekerasan itu. Sejumlah catatan menyebutkan jumlah tewas dari kalangan sipil lebih banyak dibandingkan dari kalangan kombatan terlatih yang siap menghadapi pertempuran.
Dua hari sebelum kematiannya, dalam wawancara dengan
Middle East Broadcasting, Rachel mengatakan pihak Israel menghancurkan pertahanan orang-orang Palestina secara sistematik.
"Terkadang saat sedang makan malam bersama orang-orang (Palestina) pasukan militer (Israel) mengelilingi kami hendak membunuh orang-orang yang sedang makan malam bersama saya," ujarnya.
Dua hari setelah wawancara itu, sore hari, Rachel Corrie bersama tujuh temannya berhadap-hadapan dengan dua buldozer Catepilar D9R lapis baja milik tentara Israel yang hendak menghancurkan rumah Samir Nasrallah di kawasan Hai as Salam.
Sebagai aktivis ISM, Rachel Corrie memahami betul protap dalam aksi menghadapi represifitas tentara Israel. Misalnya, mengenakan jaket berbahan fluorescent, tidak lari, menggunakan megaphone untuk berkomunikasi dengan tentara, dan memastikan tentara mengetahui kehadiran aktivis di lapangan.
Seorang saksi mata mengatakan, Rachel bahkan sempat memanjat sisi buldozer dan meminta agar buldozer dihentikan. Ia terjatuh dan kemudian berdiri berhadapan dengan buldozer.
Tentara Israel yang mengendarai buldozer itu tak peduli. Ia terus memacu buldozernya ke arah Rachel.
Tubuh Rachel dilindas dua kali.
Ambulan Bulan Sabit Merah tiba di lokasi sekitar pukul 17.05. Menurut paramedis, saat itu Rachel masih bernafas. Namun dalam perjalanan Rachel menghembuskan nafas terakhir. Ia diumumkan meninggal dunia pada pukul 17.20.
Menurut Direktur RS Rafah, hari itu tentara Palestina juga menembak mati 240 orang Palestina. 78 di antaranya adalah anak-anak.
Tubuh Rachel dikafani dan peti matinya diselubungi bendera Amerika Serikat, dan dikirimkan kembali ke tanah kelahirannya.
Sabtu siang (16/3) di Olympia, seratusan orang berkumpul di Taman Sylvester untuk mengenang sepuluh tahun kematian Rachel.
Sepuluh tahun setelah kematiannya, pihak Israel masih tidak mau bertanggung jawab atas kejadian itu. Bulan Agustus tahun lalu pengadilan Israel menyatakan kematian Rachel adalah kecelakaan biasa.
Dalam video yang dimuat di website
RacheCorrieFoundation.Org kedua orang tua Rachel, Craig dan Nancy, menitipkan pesan kepada Presiden Barack Obama yang akan mengunjungi Timur Tengah dan berkunjung ke Tepi Barat.
"Tolong hubungi Gedung Putih, dan beritahukan kepada mereka agar Presiden Obama meminta pertanggungjawaban terhadap semua kekerasan yang dialami warganegara Amerika yang menggunakan senjata Amerika yang diekspor oleh pihak militer lain (Israel)," ujar Nancy Corrie.
"Ingatkan Presiden Obama bahwa uang kita (Amerika Serikat) sebenarnya merusak proses perdamaian dan peluang perdamaian di Timur Tengah," sambungnya.
Obama, katanya lagi, harus diingatkan untuk mengatakan kepada pemerintah Israel bahwa senjata Amerika tidak boleh digunakan untuk menghancurkan rumah dan menyerang warga sipil.
"Katakan kepada Presiden Obama bahwa pajak yang kita bayarkan harus digunakan untuk membangun perdamaian, bukan untuk dijadikan bahan bakar konflik," demikian Nancy.
[guh]
BERITA TERKAIT: