"Sangat aneh dan terkesan pertamina mencari untung, padahal ada hak (rakyat) disana yang harus dilindungi," terang Ketua PP KAMMI Bidang Ekonomi, Barry Pratama dalam perbincangan dengan redaksi (Kamis malam, 21/1).
Selama ini, kata dia, Pertamina selalu melakukan penjualan BBM kepada masyarakat yang tinggi tanpa mempertimbangkan kondisi harga minyak dunia. Makanya, Pertamina tetap meraup untung besar dari masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.
Selain itu, Barry menilai, penerapan subsidi pemerintah dalam BBM dilakukan dengan perhitungan yang tidak transparan.
"Memang tidak transparan penghitungannya, di saat harga minyak dunia sedang jatuh justru terlihat tidak ada penyesuaian harga, namun pada saat harga minyak dunia naik, pemerintah sangat reaktif ingin menaikkan harga,†tutupnya.
Sekedar informasi, harga minyak Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar saat ini sudah menyentuh harga USD40 per barel, yang artinya jika dirupiah dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak)
Untuk ongkos kirim diasumsikan USD3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10 persen (Rp380/liter) ditambah PBBKB 5 persen (Rp190/liter), maka semestinya harga solar non subsidi di Indonesia berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter. Kenyataannya, harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (Harga keekonomian: Rp6.750 per liter) ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi).
Pertamina meraup keuntungan yang sangat besar dari selisih penjualan tersebut. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan ada pihak yang berani menjual harga solar non subsidi di bawah harga solar subsidi. Seperti yang pernah terjadi pada bulan Agustus 2015 lalu yang saat itu harga solar subsidi di SPBU dijual dengan harga Rp6.900 per liter, PT AKR Corporindo Tbk, justru menjual solar industri di level Rp6.400 per liter, lebih murah Rp500 per liter.
[sam]
BERITA TERKAIT: