Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

SABTU, 13 DESEMBER 2025 | 23:18 WIB

PERATURAN Kapolri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di 17 kementerian/lembaga memicu kontroversi hukum, khususnya pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025. Naskah ini menganalisis perdebatan antara pandangan yang menyatakan aturan tersebut konstitusional dengan alasan masih memungkinkan penugasan yang memiliki "sangkut paut" dengan kepolisian, dan pandangan yang menilainya inkonstitusional karena dianggap mengabaikan substansi putusan MK yang melarang mekanisme penugasan aktif. 

Melalui pendekatan yuridis-normatif, analisis menunjukkan bahwa Perpol 10/2025 bertentangan dengan semangat dan rasio decidendi Putusan MK, yang bertujuan mempertegas pemisahan karier militer dan sipil serta mencegah praktik rangkap jabatan. Kelemahan dasar hukum peraturan ini, dibandingkan dengan ketentuan serupa untuk TNI, memperkuat argumentasi ketidakabsahannya. Oleh karena itu, diperlukan peninjauan ulang atau pembatalan peraturan tersebut untuk menjamin kepastian hukum dan konsistensi sistem ketatanegaraan.

Konteks Reformasi Birokrasi dan Kedudukan Polri


Reformasi birokrasi di Indonesia, yang antara lain dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), bertujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang profesional, bersih, dan bebas dari praktik penyalahgunaan wewenang. Dalam kerangka besar ini, isu netralitas birokrasi dan pemisahan yang tegas antara karier militer (atau uniformed service) dengan karier sipil menjadi prinsip penting untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan objektivitas pelayanan publik. 

Sebagai institusi yang oleh hukum dikategorikan sebagai kekuatan sipil yang diarahkan untuk melayani masyarakat berdasarkan Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menempati posisi unik.

Posisi ini berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang secara konstitusional diperankan sebagai alat pertahanan negara. Namun, praktik penempatan personel Polri aktif dalam jabatan-jabatan struktural di berbagai kementerian dan lembaga negara telah berlangsung lama, seringkali dengan dasar penugasan dari Kapolri, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kapolri. Praktik inilah yang kemudian diuji konstitusionalitasnya ke hadapan Mahkamah Konstitusi, yang berujung pada Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025, sebuah putusan yang menjadi batu uji bagi terbitnya Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025 tidak lama kemudian.

Analisis Masalah: Dua Tafsir Hukum yang Berhadap-hadapan

Pasca-putusan MK dan terbitnya Perpol 10/2025, muncul dua penafsiran hukum yang saling bertolak belakang dari publik, yang diwakili oleh pernyataan resmi politisi Habiburokhman dan mantan Ketua MK Mahfud MD. Di satu sisi, argumentasi yang mendukung konstitusionalitas Perpol 10/2025, seperti disampaikan pada Sabtu, 13 Desember 2025, berpusat pada penafsiran harfiah atau literal terhadap putusan MK. Argumentasi ini menekankan bahwa MK secara eksplisit hanya membatalkan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" pada penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, frasa "jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian" dianggap tetap berlaku dan sah. 

Oleh karena itu, selama penugasan anggota Polri di 17 kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Hukum, Badan Intelijen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dinilai masih memiliki keterkaitan dengan fungsi perlindungan, pengayoman, atau penegakan hukum menurut Pasal 30 UUD 1945, maka penugasan tersebut dianggap konstitusional. Logika ini melihat Perpol 10/2025 semata-mata sebagai instrumen operasionalisasi dari norma yang dianggap masih berlaku tersebut.

Di sisi lain, penafsiran yang menilai Perpol 10/2025 inkonstitusional, sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD dalam wawancara dengan Kompas.com pada Jumat, 12 Desember 2025, menganut penafsiran teleologis atau berdasarkan tujuan hukum (the spirit of the law). Perspektif ini melihat putusan MK bukan sekadar penghapusan beberapa kata, tetapi suatu pernyataan prinsipil yang membatalkan mekanisme penugasan aktif anggota Polri ke jabatan sipil. Mahfud MD, dengan kapasitasnya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, menegaskan bahwa putusan MK menutup jalan bagi polisi aktif untuk menduduki jabatan di institusi sipil tanpa harus pensiun atau berhenti terlebih dahulu dari dinas kepolisian. 

Dengan kata lain, MK telah mengukuhkan prinsip pemisahan karier yang tegas. Dari sudut pandang ini, Perpol 10/2025 yang justru merinci dan melegitimasi penugasan aktif ke 17 instansi merupakan upaya bypass atau pengelakan terhadap substansi putusan MK, karena tetap mempertahankan esensi mekanisme yang telah dibatalkan tersebut, hanya dengan mengganti label dasarnya dari "penugasan Kapolri" menjadi "sangkut paut dengan kepolisian".

Analisis Mendalam terhadap Putusan MK dan Dasar Hukum Perpol

Untuk menentukan mana penafsiran yang lebih kuat secara hukum, diperlukan pendalaman terhadap rasio decidendi atau pertimbangan hukum utama dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan tersebut tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi harus dibaca dalam konteks sistem hukum yang lebih luas, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal 63 Undang-Undang ASN secara tegas menyatakan bahwa pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri (dan TNI) diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai kepolisian (dan ketentaraan). 

Masalah hukum yang timbul, seperti diungkapkan Mahfud MD, adalah bahwa Undang-Undang Polri tidak pernah merinci atau memberikan daftar jabatan sipil apa saja yang dapat diisi oleh anggotanya, berbeda dengan Undang-Undang TNI yang secara limitatif menyebutkan 14 jabatan sipil tertentu. Dengan demikian, dasar kewenangan untuk menerbitkan Perpol 10/2025 yang merinci 17 instansi tersebut menjadi sangat lemah. 

Perpol sebagai peraturan di bawah undang-undang, dalam hal ini, dianggap telah mengatur materi yang seharusnya diatur oleh undang-undang, yaitu menciptakan norma baru tentang daftar jabatan, bukan sekadar mengoperasionalkan norma yang ada. Hal ini menyentuh pada prinsip legalitas dan larangan delegasi kewenangan legislatif yang tidak terbatas (delegation of powers doctrine).

Lebih lanjut, penafsiran bahwa frasa "sangkut paut" dapat digunakan sebagai dasar penugasan aktif adalah penafsiran yang sangat elastis dan berpotensi melebar tanpa batas. Hampir semua fungsi pemerintahan, dari pengawasan keuangan di OJK hingga penanganan narkotika di Badan Narkotika Nasional (BNN), dapat diklaim memiliki "sangkut paut" tidak langsung dengan tugas kepolisian. 

Jika logika ini diterima, maka pembatasan yang ingin diciptakan oleh putusan MK menjadi tidak berarti atau kehilangan maknanya sama sekali. MK dalam putusannya, dengan membatalkan klausul "penugasan dari Kapolri", secara implisit menolak model dualisme karier dimana seorang anggota dapat secara bersamaan berstatus sebagai aparatur kepolisian dan ASN di instansi lain. Oleh karena itu, upaya mempertahankan mekanisme yang sama hanya dengan mengganti terminologinya merupakan bentuk inkonsistensi hukum yang justru menggerogoti otoritas dan kewibawaan putusan lembaga yudisial tertinggi di bidang konstitusi.

Solusi dan Langkah Aksi ke Depan

Berdasarkan analisis di atas, solusi yang paling tepat untuk menjaga integritas sistem hukum dan konsistensi pelaksanaan putusan MK adalah dengan meninjau ulang dan membatalkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025. Langkah ini dapat ditempuh melalui beberapa mekanisme hukum yang tersedia. Pertama, Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dapat menggunakan hak untuk menguji peraturan secara eksekutif (executive review) dan menerbitkan Peraturan Presiden untuk mencabut atau menyatakan tidak berlaku peraturan yang bertentangan dengan putusan pengadilan dan undang-undang yang lebih tinggi. 

Kedua, jalan judicial review ke Mahkamah Agung terhadap peraturan tersebut berdasarkan permohonan dari pihak yang dirugikan atau lembaga negara tertentu juga terbuka, dengan dalih bahwa Perpol 10/2025 bertentangan dengan Undang-Undang ASN dan jiwa Putusan MK. Ketiga, DPR RI dapat mengaktifkan fungsi pengawasannya dengan meminta penjelasan secara tertulis kepada Kapolri dan pemerintah mengenai dasar hukum dan keselarasan peraturan ini, yang dapat berujung pada rekomendasi untuk pencabutan.

Di sisi lain, jika memang ada kebutuhan nyata dan mendesak untuk memanfaatkan keahlian khusus anggota Polri di instansi tertentu, maka mekanisme yang konstitusional dan sesuai putusan MK harus dirumuskan. Mekanisme tersebut tidak boleh lagi berupa "penugasan aktif", melainkan melalui proses pensiun atau berhenti dari dinas kepolisian terlebih dahulu, sebagaimana ditegaskan Mahfud MD. Setelah status kepolisiannya berakhir, mantan anggota tersebut dapat mengikuti proses rekrutmen atau penempatan sesuai dengan norma dan kompetisi yang berlaku bagi semua calon ASN atau pejabat negara lainnya. 

Alternatif lain adalah dengan memperkuat model detasering fungsional yang bersifat temporer dan terbatas, bukan pengisian jabatan struktural permanen, dengan payung hukum yang jelas dan diawasi secara ketat oleh lembaga independen seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Penutup dan Rekomendasi Kebijakan

Dinamika hukum seputar Perpol 10/2025 versus Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 merefleksikan tarik-ulang yang lebih dalam antara status quo praktik birokrasi yang telah mengakar dengan idealisme reformasi tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Analisis komprehensif dalam naskah ini menunjukkan bahwa argumentasi yang menyatakan ketidakkonstitusionalan Perpol 10/2025 memiliki pijakan hukum yang lebih kuat. 

Argumentasi ini tidak hanya berdasar pada kesesuaian formal dengan teks putusan, tetapi lebih penting lagi pada keselarasan dengan semangat konstitusi, prinsip pemisahan karier, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Penerbitan Perpol 10/2025, yang terjadi setelah putusan MK, berpotensi menciptakan preseden buruk, dimana putusan lembaga yudisial dapat didistorsi atau diselewengkan maknanya melalui produk hukum di tingkat yang lebih rendah.

Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan utama dari naskah akademik ini adalah: Pertama, Kapolri bersama Pemerintah perlu segera mengambil langkah korektif untuk mencabut Perpol Nomor 10 Tahun 2025. 

Kedua, DPR RI dan Pemerintah perlu mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri untuk mengatur secara jelas, limitatif, dan transparan mengenai kemungkinan dan batasan perpindahan karier anggota Polri ke jabatan sipil, dengan mengacu pada prinsip dalam putusan MK dan Undang-Undang ASN. 

Ketiga, penguatan peran lembaga pengawas seperti KASN dan Kompolnas sangat diperlukan untuk mencegah praktik penyalahgunaan penugasan atau rangkap jabatan di masa depan. Hanya dengan kepatuhan penuh pada konstitusi dan putusan lembaga yudisial, reformasi birokrasi dan penegakan supremasi hukum dapat benar-benar diwujudkan.


Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH 
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya