Muhammad Nuh Al-Azhar. (Foto: Dok. Pribadi)
Posisi Rismon Hasiholan Sianipar yang disebut sebagai pakar dalam bidang forensik digital dipertanyakan.
Salah satu yang mempertanyakan adalah pakar forensik digital Muhammad Nuh Al-Azhar. Hal itu disampaikan Nuh menanggapi analisis Rismon terkait kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin.
Menurut Nuh, Rismon tidak memiliki keterikatan dengan komunitas profesional yang diakui. Ia menegaskan, sebagaimana profesi lain, seorang ahli seharusnya memiliki komunitas atau asosiasi resmi sebagai bentuk legitimasi dan kredibilitas keahlian.
“Oke, kita ngomong digital forensic. Anggap saja praktisi, ahli, atau apa pun. Ada komunitasnya, AFDI (Asosiasi Forensik Digital Indonesia),” ujar Nuh kepada wartawan di Jakarta, Rabu 15 Oktober 2025.
Lebih lanjut, ia menegaskan seluruh materi yang dipermasalahkan Rismon sudah pernah dijelaskan di persidangan, termasuk perbedaan jumlah frame, tampilan hitam-putih, hingga aplikasi yang digunakan dalam analisis digital forensik.
“Bahkan di PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat pada persidangan pertama, saya sudah datang diminta sama Majelis Hakim untuk konfrontasi dengan Rismon. Tapi begitu saya datang, Rismon tidak mau, alasannya ini sesi mereka,” ujarnya.
Nuh mengatakan dirinya tidak keberatan jika dilakukan pemeriksaan ulang, karena yakin hasilnya akan tetap sama.
Namun ketika itu, Rismon justru tidak mau dengan alasan membutuhkan waktu yang lama. Padahal sebelumnya, Rismon meminta adanya pemeriksaan ulang.
Nuh juga menyinggung terkait perubahan display aspect ratio rekaman CCTV yang dijadikan bukti dalam persidangan oleh Rismon. Pasalnya, Rismon menganalisa setiap gerakan Jessica berdasarkan rekaman CCTV yang beredar di Youtube.
“Jadi dia ambil dari YouTube, kemudian dia tampilkan di depan persidangan itu, display aspect ratio-nya 1 banding 1. Padahal sesungguhnya display aspect ratio rekaman CCTV adalah 5 banding 3,” jelasnya.
Menurut Nuh, langkah tersebut tidak sesuai dengan standar forensik digital internasional. Mengambil dari YouTube juga sudah melakukan tiga kali distorsi.
Yakni, saat video tersebut diambil sudah distorsi tingkat pertama. Lalu, video diupload ke YouTube merupakan distorsi kedua, dan video di-download dari YouTube merupakan distorsi tingkat tiga.
Apalagi, masih kata Nuh, rekaman yang terakhir ditunjukkan oleh Rismon di sidang peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh tim kuasa hukum Jessica Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tahun lalu, bukan hal baru. Kata dia, bukti itu sudah pernah dibahas pada sidang sebelumnya.
"Itu sudah pernah ditampilkan sebelumnya, jadi bukan novum (bukti baru)," katanya.
Pernyataan Nuh sekaligus menegaskan tidak ada rekayasa bukti dalam kasus tersebut. Penanganan perkara tersebut dilakukan secara ilmiah tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.
Ia menjelaskan, seluruh analisis yang dilakukan kala itu didasarkan pada bukti ilmiah yang telah diuji dan ditampilkan di depan persidangan.
“Rekaman CCTV itu kita bedah momen per momen yang waktu itu ditampilkan di depan PN Jakarta Pusat dari pagi, siang, sampai setelah dzuhur juga masih lanjut,” papar Nuh.
Jessica Wongso divonis 20 tahun penjara atas kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin pada 2016 dan telah bebas bersyarat sejak 18 Agustus 2024.
Sesuai aturan Kementerian Hukum dan HAM, meski bebas dari tahanan, Jessica masih harus menjalani pembimbingan dan wajib melapor hingga 2032.
Meskipun sudah bebas bersyarat, Jessica Wongso tetap mengajukan PK karena merasa tidak bersalah dan ingin memulihkan nama baiknya.