Parade Militer dalam rangka Ulang Tahun Partai Pekerja Korea ke 80 di di lapangan Kim Il Sung Square, Korea Utara (Foto: Dokumen Pribadi Teguh Santosa)
Penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama bilateral mewarnai Pertemuan Menteri Luar Negeri RI, Sugiono dengan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK) atau Korea Utara, Choe Son Hui di Pyongyang, Sabtu 11 Oktober 2025 lalu.
Pengamat hubungan internasional yang juga Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara, Dr Teguh Santosa menilai penandatanganan MoU tersebut menjadi bagian dari penguatan paradigma politik luar negeri “Good Neighbourhood Policy” Presiden RI Prabowo Subianto.
Hal ini juga menjawab tuntutan zaman di tengah lanskap politik global di mana setiap negara dituntut untuk menjalin kemitraan secara multilateral.
“Ini merupakan era dimana setiap negara didorong melakukan diversifikasi kemitraan dengan banyak negara. Kita sama-sama didorong untuk menghindarkan ketergantungan dengan partner tradisional kita selama ini,” kata Teguh Santosa dalam perbincangan dengan Pro 3 RRI, Senin, 13 Oktober 2025.
Teguh yang baru dua hari lalu tiba di Indonesia usai kunjungan ke Korea Utara dalam rangka menghadiri Parade Militer dalam rangka Ulang Tahun ke-80 Partai Pekerja Korea ini mengatakan, Indonesia memiliki keuntungan dalam bekerja sama dengan Korea Utara.
Selain karena Indonesia-Korea Utara memiliki sejarah persahabatan yang diinisiasi oleh pemimpin kedua negara di era Presiden Soekarno dengan pemimpin Korea Utara Kim Il Sung. Sumber daya yang dimiliki oleh kedua negara juga diyakini akan mampu mendorong kemajuan pada berbagai bidang.
“Korut punya kebijakan baru di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, mereka berencana membangun 200 kota baru. Mereka akan butuh mitra baru, mitra yang tidak mendikte tapi bergerak untuk kepentingan yang sama. Banyak potensi kita yang mereka butuhkan. Pelaku usaha kita bisa mainkan peranan disitu, infrastruktur, rumah sakit dll,” ujarnya.
Meski begitu kata Teguh, dinamika politik juga akan mengikuti adanya MoU antara Indonesia dan Korea Utara. Sebab, berbagai negara yang selama ini sudah menjalin kerjasama dengan Indonesia namun tidak memiliki hubungan yang baik dengan Korea Utara.
Dalam hal ini, Presiden RI Prabowo Subianto maupun jajaran menterinya, harus memiliki kejelian dan kemampuan dalam menjalin hubungan multilateral. Dengan begitu, kerja sama ini tidak akan menimbulkan ketersinggungan negara-negara lain yang selama ini sudah bekerja sama dengan Indonesia.
“Tantangan atau kendala utama adalah tekanan negara tertentu kepada Korea Utara, sehingga sulit bagi mereka maupun negara lain yang ingin menjalin hubungan kerjasama. Misalnya, ada komoditas dari Korea Utara yang tidak bisa jadi materi kerjasama dengan negara tertentu, kalau ada kerja sama ekonomi maka negara yang bekerjasama itu juga mendapat sanksi dari Amerika misalnya. Ini yang harus disiasati, karena kita ingin berteman dengan banyak negara tanpa harus memusuhi negara lain,” ungkapnya.
Teguh kembali menegaskan, kebijakan politik luar negeri Prabowo Subianto merupakan sebuah pintu masuk untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai “pemain dunia” dalam berbagai bidang di panggung internasional. Berkali-kali penegasan itu disampaikan Prabowo lewat pidatonya pada forum-forum pertemuan pemimpin dunia.
“Maka kewajiban kita terutama para menteri untuk mendukung hal itu, semua sektor di dalam negeri harus berorientasi pada itu juga. Jangan nanti Presiden Prabowo sudah sampaikan tekad besar, tapi menteri-menterinya masih “inward looking” belum bisa mendukung itu baik dari energilah, pendidikanlah dan lain. Ini harus jadi pemain dunia dong,” pungkasnya.