GERAKAN Koperasi Kredit Indonesia (GKKI) lahir dari semangat melawan dominasi sistem keuangan yang eksploitatif. Ia bukan sekadar lembaga keuangan, melainkan gerakan sosial yang berpijak pada nilai kemanusiaan, solidaritas, dan kedaulatan anggota. Akar sejarahnya merentang dari inspirasi model Raiffeisen di Jerman pada 1848, yang membangun tiga pilar penting: self-help, self-reliance, dan self-government. Di Indonesia, tonggaknya diletakkan pada 1970-an oleh tokoh-tokoh seperti Pater Albrecht Kariem Arbie dan Robby Tulus.
Kini, GKKI membawahi 918 koperasi kredit dengan 4,3 juta anggota dan aset Rp46 triliun, tersebar hampir di seluruh provinsi. Pencapaian ini tak hanya berbicara soal angka, tetapi tentang daya hidup sebuah gerakan yang tumbuh dari bawah, berlandaskan pendidikan, swadaya, solidaritas, inovasi, dan persatuan. Prinsip dasarnya sederhana tapi radikal: manusia lebih penting dari modal; modal hanyalah alat, bukan tujuan.
Dalam praktiknya, koperasi kredit berbeda secara mendasar dari bank kapitalis. Kepemilikan dan kendali ada di tangan anggota. Setiap anggota memiliki satu suara tanpa memandang besar simpanannya (one member, one vote). Keuntungan dibagikan kembali kepada anggota melalui Sisa Hasil Usaha (SHU). Orientasinya bukanlah memaksimalkan laba, melainkan melayani kebutuhan riil anggota dan memperkuat kapasitas ekonomi mereka.
Sejarah dunia membuktikan bahwa koperasi kredit mampu menjadi tulang punggung stabilitas ekonomi. Di Kanada, Desjardins menjadi kekuatan finansial yang andal. Di Belanda, Rabobank tumbuh menjadi bank ternama yang lahir dari gerakan koperasi kredit. Di Prancis, Credit Agricole menjadi penopang sektor pertanian. Bahkan, pada krisis finansial 2008, di sejumlah negara, koperasi kredit justru menjadi penyelamat ekonomi rakyat, ketika banyak bank komersial kolaps.
Di Indonesia, akses kredit masih menjadi kunci bagi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya, skema kredit program pemerintah kerap tidak tepat sasaran, lebih menguntungkan bankir dan makelar program ketimbang masyarakat. Sejak masa kolonial, rakyat memang pernah punya akses melalui lembaga seperti Hulp Spaarken Bank yang kelak menjadi BRI. Namun, yang membedakan koperasi kredit adalah kemampuannya mengajak anggota merancang sendiri skema dan aturan mainnya, suatu bentuk kedaulatan finansial yang sejati.
Meski begitu, GKKI menghadapi tantangan besar di tengah dominasi sistem keuangan kapitalis. Negara memberi fasilitas luar biasa bagi perbankan: subsidi bunga, penjaminan simpanan melalui LPS, bahkan bailout saat krisis. Koperasi, sebaliknya, dibiarkan berjalan sendiri. Regulasi pun diskriminatif: koperasi tidak diikutsertakan dalam skema LPS, akses pendanaan dibatasi, dan ekosistem keuangan terjebak dalam monokultur yang bergantung pada bank komersial.
Tantangan eksternal lain datang dari perkembangan fintech dan pinjaman digital yang menawarkan kecepatan, meski sering mengorbankan etika dan memberatkan peminjam. Tak kalah berbahaya adalah rusaknya citra koperasi akibat kasus-kasus yang melibatkan “koperasi abal-abal” yang sejatinya tak berlandaskan prinsip koperasi sejati.
Namun ancaman tak hanya datang dari luar. Secara internal, GKKI juga menghadapi penurunan ideologi. Orientasi sebagian pengelola bergeser, dari gerakan sosial menjadi sekadar lembaga keuangan biasa. Regenerasi kepemimpinan berjalan lambat. Mentalitas mencari laba semata mulai menggerus semangat solidaritas, sementara ego sektoral melemahkan jaringan di tingkat primer.
Padahal, GKKI memiliki keunggulan yang tak dimiliki bank: kepemilikan demokratis, keuntungan kembali ke anggota, suku bunga dan biaya yang adil, serta fungsi pemberdayaan yang melampaui angka pendidikan keuangan, solidaritas sosial, dan kemandirian ekonomi.
Di era digital, peluang terbuka lebar. Koperasi kredit dapat memanfaatkan digitalisasi layanan untuk menjangkau anggota di pelosok, menggunakan big data untuk analisis yang lebih presisi, dan mengembangkan platform edukasi daring untuk meningkatkan literasi keuangan anggota. Namun, peluang itu datang bersama ancaman: disrupsi oleh pinjaman online ilegal, kesenjangan literasi digital, hingga hilangnya sentuhan personal yang selama ini menjadi roh gerakan.
Untuk menjawab tantangan ini, revitalisasi ideologi menjadi keharusan. Pendidikan anggota tidak boleh berhenti di tahap pengenalan, tetapi harus berkesinambungan. Setiap keputusan manajerial harus berpijak pada prinsip koperasi. Digitalisasi pun harus terarah: sistem IT yang dikembangkan harus aman, ramah anggota, dan tidak mengorbankan nilai kebersamaan.
Penguatan kelembagaan juga penting. Koperasi perlu berani mendiversifikasi usaha ke sektor riil dengan mendorong anggotanya untuk memekarkan koperasi baru di sektor riil agar kekuatan tabungan menjadi kekuatan investasi produktif. Peningkatan kualitas SDM juga harus menjadi prioritas, bersamaan dengan regenerasi kepemimpinan yang membuka ruang bagi generasi muda.
Di sisi lain, GKKI harus aktif dalam advokasi kebijakan. Keadilan regulasi hanya akan lahir jika koperasi bersuara lantang di hadapan pembuat kebijakan. Jaringan advokasi perlu dibangun, baik lintas daerah maupun internasional, agar perjuangan tidak terjebak dalam ruang sempit.
Visi ke depan jelas: koperasi kredit harus menjadi pilar ekonomi demokratis yang mandiri secara finansial, kuat secara ideologi, adaptif terhadap teknologi, dan menjadi tandingan nyata bagi sistem keuangan kapitalis. Keunggulan prinsip koperasi, kepemilikan bersama, kendali demokratis, dan orientasi pelayanan adalah modal sosial yang tak ternilai.
Gerakan ini bukan sekadar soal angka aset atau jumlah anggota, melainkan soal keberanian menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat. Di tengah derasnya arus kapitalisme global, koperasi kredit menawarkan jalan yang lebih adil dan manusiawi. Tantangannya memang besar, tetapi peluangnya jauh lebih besar jika gerakan ini mampu menjaga jati diri dan terus berinovasi tanpa kehilangan ruhnya.
Kini, yang kita butuhkan bukan sekadar bertahan, tetapi memimpin perubahan. Koperasi kredit harus berdiri tegak sebagai benteng terakhir demokrasi ekonomi di negeri ini, sebuah benteng yang dibangun bukan dari beton dan baja, tetapi dari kepercayaan, solidaritas, dan kesadaran kolektif jutaan anggotanya.
*Penulis adalah CEO INKUR Federation, Ketua AKSES