Ilustrasi boneka Labubu/Net
Kepopuleran boneka Labubu yang sempat viral secara global diperkirakan akan segera meredup. Prediksi ini datang dari Arnott Capital, salah satu pengelola dana lindung nilai (hedge fund) terkemuka di Australia.
Dalam surat kepada para investor akhir pekan lalu, Arnott Capital mengungkapkan bahwa mereka akan melakukan short selling atas saham Pop Mart, produsen boneka Labubu asal Tiongkok.
Short selling adalah strategi investasi di mana seorang investor meminjam saham dari pihak lain untuk dijual pada harga saat ini, dengan harapan harga saham tersebut akan turun. Ketika harga turun, investor bisa membeli kembali saham itu dengan harga lebih murah, mengembalikannya kepada pemilik asli, dan memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan beli. Strategi ini sering digunakan ketika investor memprediksi harga suatu saham akan jatuh.
Pop Mart, yang berkantor pusat di China dan terdaftar di bursa saham Hong Kong, mengalami lonjakan kapitalisasi pasar dari sekitar 6,7 miliar Dolar AS pada 2020 menjadi lebih dari 28,81 miliar Dolar AS saat ini. Kenaikan ini didorong oleh tingginya permintaan atas boneka Labubu, yang jauh melebihi pasokan.
Fenomena ini turut diperkuat oleh sorotan media sosial dan dukungan dari selebriti dunia seperti David Beckham, Kim Kardashian, dan grup K-pop Blackpink. Salah satu daya tarik utama boneka ini adalah sistem "blind box", di mana pembeli tidak tahu versi boneka mana yang mereka dapatkan hingga dibuka.
Boneka Labubu dijual dengan harga sekitar 13-27 Dolar AS, namun di pasar sekunder, harganya bisa melambung tinggi. Bahkan, satu boneka pernah terjual hingga 7.000 Dolar AS minggu lalu.
Namun, menurut Arnott Capital, tren ini mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan.
“Risiko melakukan short selling pada saham yang termasuk kategori ‘tren’ atau ‘siklus hype’ adalah kita tidak tahu kapan momentum itu berakhir, seperti mencoba mengukur seutas tali tanpa ujung,” tulis Arnott dalam catatan kepada investor, dikutip dari
9News, Selasa, 5 Agustus 2025.
“Namun, kami percaya katalisnya kini mulai terlihat jelas di internet. Pada bulan Juni, harga jual kembali Labubu mencapai puncaknya dan terus menurun. Kami yakin tren ini akan melemahkan permintaan yang sempat tinggi pada paruh kedua 2024 hingga awal 2025. Akibatnya, pasar bisa dibanjiri kelebihan stok dan kerugian inventaris,” lanjut pernyataan tersebut.
Arnott Capital membandingkan fenomena ini dengan tren Hello Kitty di awal 2010-an, saat harga saham Sanrio sempat naik 700 persen sebelum akhirnya jatuh dalam beberapa tahun.
“Kami melihat pola yang sama pada Labubu. Sistem ‘blind box’ menciptakan semacam lotre semu yang mendorong pembelian impulsif,” tulis Arnott.
Tingginya permintaan dan stok terbatas juga mendorong munculnya calo dan situs bot yang digunakan kolektor untuk membeli boneka dalam jumlah besar, kemudian menjualnya kembali dengan harga tinggi.
Bahkan bulan lalu, sejumlah penggemar rela berkemah semalaman dalam cuaca dingin di negara bagian Victoria demi menghadiri pembukaan toko Pop Mart di Melbourne, salah satu dari 11 toko yang sudah beroperasi di Australia. Satu toko lagi dijadwalkan dibuka di pusat kota Sydney akhir tahun ini.