Krisis neraca perdagangan Indonesia yang kian meruncing telah menempatkan perekonomian nasional pada posisi yang sangat rentan. Menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan sepanjang 2024 mencapai 2,5 miliar Dolar AS, dengan penurunan ekspor non-migas sebesar 3,2 persen year-on-year, terutama pada sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur yang menjadi tumpuan lebih dari 7 juta tenaga kerja (Laporan Kemenperin, 2024).
Penurunan tarif impor Amerika Serikat dari 32 persen menjadi 19 persen masih jauh dari cukup untuk mengembalikan daya saing produk Indonesia di pasar global, mengingat AS menyerap 12 persen dari total ekspor nasional (Kementerian Perdagangan, 2024).
Tarif ini tetap menjadi beban berat bagi industri dalam negeri, meningkatkan risiko PHK massal, dan memperparah tekanan pada nilai tukar rupiah yang kini berada di level Rp 16.200 per Dolar AS (Bank Indonesia, Juli 2025). Ketergantungan pada bahan baku impor, yang menyumbang 60 persen dari total biaya produksi di sektor manufaktur (Kemenperin, 2024), menjadi titik lemah struktural yang menghambat kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar internasional.
Kondisi tersebut mendapat tanggapan beragam salah satunya ada dari Co Founder Forum Intelektual Muda, Muhammad Sutisna dalam keterangannya, Sabtu malam, 19 Juli 2025.
Menurut dia, krisis ini mencerminkan kegagalan strategis Kementerian Perdagangan dalam merumuskan kebijakan yang responsif terhadap dinamika perdagangan global.
"Apalagi negosiasi dengan mitra dagang utama seperti Amerika Serikat belum menghasilkan kesepakatan yang benar-benar menguntungkan Indonesia, sementara peluang dari perjanjian perdagangan bebas seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang mencakup 30 persen perdagangan global, belum dimanfaatkan secara optimal," ujar Sutisna.
Lanjut dia, Kondisi ini diperparah oleh ketidakmampuan Kementerian Perdagangan dalam mendorong revitalisasi industri dalam negeri. Sektor manufaktur, yang menyumbang 19 persen dari PDB nasional (BPS, 2024), menghadapi tantangan berat akibat tingginya biaya produksi dan kurangnya insentif untuk meningkatkan efisiensi.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memproyeksikan bahwa penguatan rantai pasok lokal dapat meningkatkan nilai tambah produk ekspor hingga 20 persen dalam tiga tahun, namun kebijakan yang mendukung agenda ini masih jauh dari harapan. Krisis ini tidak hanya berdampak pada devisa negara, tetapi juga mengancam stabilitas sosial.
Bahkan Data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2024 mencatat bahwa sektor tekstil dan alas kaki telah kehilangan 150.000 tenaga kerja sejak awal 2024 akibat penurunan permintaan ekspor, sebuah angka yang dapat membengkak jika tidak ada intervensi segera. Tekanan pada rupiah juga berpotensi memicu inflasi impor, yang dapat meningkatkan harga bahan pokok dan memperberat beban masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah.
"Atas kondisi ini melihat ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya tensi geopolitik, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah seharusnya untuk mengambil langkah tegas melalui reshuffle kabinet, khususnya pada posisi Menteri Perdagangan. Melihat Indonesia membutuhkan pemimpin di Kementerian Perdagangan yang memiliki visi strategis, kemampuan negosiasi tingkat tinggi, dan komitmen kuat untuk melindungi kepentingan nasional," imbuhnya.
Sutisna mengatakan langkah ini bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan keharusan strategis untuk mengembalikan kepercayaan pelaku usaha, memperkuat posisi tawar Indonesia di panggung global, dan mencegah dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.
"Di mana Pemerintahan Prabowo harus menunjukkan komitmen nyata untuk membawa Indonesia keluar dari krisis ini dengan menempatkan figur yang kompeten, berpengalaman, dan memiliki integritas di posisi Menteri Perdagangan. Kepemimpinan yang lemah di sektor ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap visi pemerintahan untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global," jelasnya.
"Dalam situasi ini kiranya ada satu nama yang layak dipertimbangkan yakni Harvick Hasnul Qolbi sebagai Menteri Perdagangan. Mengingat rekam jejaknya Sebagai mantan Wakil Menteri Pertanian (2020–2024), Harvick telah menunjukkan kapasitas luar biasa dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang berpihak pada sektor riil," tambah dia.
Masih kata Sutisna, salah satu capaiannya adalah meningkatkan produktivitas UMKM berbasis komoditas pertanian sebesar 15 persen di Jawa Timur pada 2023, sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU). Pengalamannya di LPNU, ditambah dengan jejaring luas di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), menjadikannya figur yang mampu menjembatani kepentingan domestik dengan tantangan global.
"Pengangkatan figur seperti Harvick dapat menjadi langkah strategis untuk menghidupkan kembali kebijakan perdagangan yang inovatif, melindungi kepentingan rakyat, dan membawa Indonesia menuju kedaulatan ekonomi yang lebih tangguh di panggung global," pungkasnya.