Ketua Umum ASRIM, Triyono Prijosoesilo/Net
Larangan penjualan air minum dalam kemasan di bawah 1 liter cukup mengejutkan bagi banyak pihak, termasuk Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM).
Ketua Umum (ASRIM) Triyono Prijosoesilo, mengaku kaget dengan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Gubernur Bali, I Wayan Koster, terkait larangan tersebut. Ia mengatakan, industri minuman belum pernah diajak konsultasi sebelumnya terkait larangan ini.
Triyono memahami, langkah tersebut dilakukan untuk menekan penggunaan sampah plastik sekali pakai. Namun begitu, ia berharap Gubernur Bali mau berdiskusi dengan pelaku usaha untuk mencari solusi bersama yang akan mendukung pencapaian tujuan Bali Bersih dalam membenahi masalah sampah.
“Kami mendukung tujuan dari kebijakan Bali Bersih untuk mengelola sampah kemasan dan non kemasan agar tidak mencemari lingkungan. Banyak ànggota Asrim yang sudah melakukan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan sampah kemasan, baik secara individu perusahaan maupun bersama-sama dalam organisasi IPRO atau organisasi daur ulang sampah kemasan dan lainnya,” jelas Triyono dalam keterangannya yang diterima redaksi pada Selasa, 15 April 2025.
Namun menurutnya, Pemprov Bali juga harus menjaga kinerja industri guna mendukung perekonomian Bali dan penyerapan tenaga kerja.
"Kami berharap perlunya diskusi multi stakeholders termasuk antara Pemda Bali dan pelaku usaha. Di saat yang sama, perlu waktu yang cukup sebelum menerapkan poin dalam Surat Edaran tersebut karena sangat berpotensi menjadi dampak negatif di sisi ekonomi dan tenaga kerja,” lanjut Triyono.
Sebenarnya sudah banyak aktifitas yang dilakukan pelaku usaha dalam melakukan pengumpulan dan daur ulang sampah kemasan, termasuk di Bali sendiri bekerja sama dengan LSM dan pelaku usaha daur ulang.
“Kegiatan-kegiatan seperti ini sebaiknya yang perlu terus didorong Pemprov Bali agar bisa menjadi semakin luas. Jadi, bukan malah mematikan usaha industri air minum seperti ini,” ujar Triyono.
Di sisi lain, dia berharap pemerintah juga berupaya untuk terus membangun infrastruktur pengelolaan sampah sesuai dengan peraturan dan perundangan.
“Masyarakat pun perlu didorong untuk membangun habit baru untuk memilah sampah dari sumber atau rumah. Termasuk juga dukungan berbagai pihak seperti akademisi, civil society, dan lain-lain. Sinergi seperti inilah yang perlu didorong terus,” tukasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat, juga merasa keberatan terhadap aturan Gubernur Bali ini. Dia berharap Pemprov Bali dapat mengkaji ulang kebijakannya. Sebab, menurutnya, dampaknya tentu akan merembet ke mana-mana karena Bali tempat pariwisata.
“Kalau dari tujuan surat edaran tersebut, kami mendukung seratus persen tujuan pemerintah Bali untuk mewujudkan gerakan Bali Bersih. Namun, menurut kami, bukan dengan cara pelarangan produksi atau distribusi. Semestinya, arahnya adalah bagaimana pengolahan sampah yang lebih baik, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, di acara-acara, tidak mungkin seseorang membawa air minum dalam kemasan besar.
"Minuman dalam kemasan ini erat dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering berkumpul melakukan acara. Bali termasuk sering upacara, mereka pasti membutuhkan MDK kemasan kecil untuk konsumsi,” ungkap Rachmat.
Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada penutupan pabrik air mineral dalam kemasan dan hilangnya lapangan pekerjaan.
Terkait saran Koster mengenai pemakaian botol kaca untuk mengganti kemasan plastik, Rachmat menilai itu tidak menyelesaikan permasalahan sampah di Bali. Apalagi kerusakan alam yang ditimbulkan akan lebih parah, sebab kaca sendiri berasal dari bahan tambang berupa pasir kuarsa.
“Memproduksi kaca itu jauh lebih boros daripada produksi plastik. Pengangkutannya juga jauh lebih berat, jauh lebih boros. Tingkat emisi karbon juga lebih besar. Ongkosnya juga jauh lebih mahal. Itu beban ekonomi juga akan jauh lebih besar. Jadi, itu bukan solusi,” ucapnya.
Apabila dilihat dari jumlah penduduk Bali yang berjumlah 4,5 juta, Aspadin memprediksi angka konsumsi minuman dalam kemasan kecil berkisar di angka 10 hingga 15 liter per kapita per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi daripada konsumsi di wilayah Sumatera yang berkisar di angka 11 liter.
Tingginya angka konsumsi minuman dalam kemasan juga dipengaruhi oleh status Bali sebagai destinasi pariwisata.
Status tersebut mengakibatkan pergerakan manusia (mobilitas) di Bali cukup besar, sehingga produk-produk minuman dalam kemasan plastik ukuran kecil sangat dibutuhkan. Di samping itu, pelarangan tersebut jelas akan berimbas secara masif pada puluhan pabrik yang ada di Bali.