Berita

Ilustrasi (AI/AT)

Publika

Rantai Korupsi Tambang Nikel

SENIN, 10 MARET 2025 | 07:05 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

INDONESIA punya segalanya: kekayaan alam melimpah, tenaga kerja murah, dan, tentu saja, kreativitas tanpa batas dalam urusan korupsi. Ambil contoh nikel. Tahun 2023, kita memproduksi 21 juta ton metrik nikel, alias setengah dari produksi dunia. Negara lain sibuk berinovasi dengan teknologi, kita justru lebih unggul dalam seni menyulap aturan.

Fakta menarik ini diungkap oleh La Husen Zuada, dosen Universitas Tadulako, dalam jurnal Integritas yang diterbitkan KPK. Dia membedah modus korupsi nikel dari hulu ke hilir —mulai dari izin tambang hingga pengapalan, dari spekulan tanah hingga aparat hukum yang mendadak jadi konsultan bisnis tambang. Saking rapi dan sistematisnya, kejahatan ini bukan lagi aib, melainkan warisan budaya.

Babak Pertama: Spekulan Tanah, Sang Visioner

Segera setelah sebuah daerah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), bukan cuma perusahaan tambang yang berebut, tapi juga spekulan ulung. Mereka ini kombinasi ajaib: pengusaha gesit, birokrat cerdik, dan —tentu saja— oknum aparat yang paham betul izin tambang lebih menggiurkan daripada sekadar jual beli tanah biasa.

Modusnya simpel: mereka beli tanah murah, tunggu momen yang tepat, lalu jual ke perusahaan tambang dengan harga berlipat. Kalau masih kurang untung, ya disewakan dengan sistem bagi hasil. Urusan legalitas? Ah, itu belakangan. Yang penting, duluan pegang sertifikat.

Tapi ada satu kendala: bagaimana kalau izin usaha pertambangan (IUP) yang dibeli ternyata sudah mati? Tenang, ada jalur lain.

Babak Kedua: Izin Mati Bisa Dihidupkan, Asal Ada Mahar

Di negeri ini, surat izin tambang mirip kartu nyawa dalam gim Monopoli. Sudah kedaluwarsa? Bisa diperpanjang. Tak memenuhi syarat? Bisa dinegosiasikan. 

Ada dua opsi jalur cepat: pertama, lewat kejaksaan, dengan pendekatan "administratif fleksibel". Kedua, lewat Ombudsman, karena terkadang ketidakpastian hukum bisa jadi peluang emas bagi mereka yang "paham situasi".

Padahal, Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 sudah mengatur mekanisme perpanjangan izin. Tapi apa gunanya aturan jika bisa ditafsirkan sesuai kebutuhan?

Dalam beberapa kasus, perusahaan bahkan sudah mulai menambang meski izin belum beres. Kenapa berani? Karena mereka tahu, ada solusi lebih murah dibanding mengurus dokumen: yaitu menyesuaikan dokumen yang sudah ada.

Babak Ketiga: Seni Memalsukan Dokumen


Kalau tanah bisa diperdagangkan, dokumen tambang pun tak kalah fleksibel. Ada tiga jenis dokumen yang laris manis di pasar gelap pertambangan:

- IUP (Izin Usaha Pertambangan) – Kalau izin asli mahal dan ribet, kenapa tidak cetak sendiri?
- Dokumen pengapalan – Supaya nikel bisa keluar negeri tanpa harus memenuhi aturan ekspor yang njelimet.
- Dokumen bahan bakar bersubsidi – Karena siapa sih yang tidak suka solar murah?

Tapi dokumen-dokumen ini tetap butuh perlindungan. Di sinilah peran aparat penegak hukum berubah dari penegak aturan menjadi juru damai.

Babak Keempat: Hukum Sebagai Lahan Bisnis

Salah satu kebiasaan baik di dunia tambang adalah: ketika ada perusahaan beroperasi ilegal, yang datang bukan sanksi, tapi tawaran kerja sama. Biasanya begini: ada laporan warga atau sorotan media tentang tambang ilegal, lalu aparat turun tangan —bukan untuk menutup tambang, tapi untuk "menengahi".

Jika negosiasi berhasil, tambang tetap jalan, kasus pun lenyap tanpa jejak. Tapi jika tekanan publik terlalu besar, ada trik lain: menyamarkan kepemilikan tambang.

Elite politik atau pengusaha besar yang punya tambang lebih suka tidak terlihat sebagai pemilik langsung. Mereka cukup mengendalikan dari balik layar, sambil menjaga citra tetap bersih. Nama mereka tak ada di dokumen resmi, tapi rekening mereka tetap gemuk.

Babak Kelima: Tambang Ilegal —Hantu yang Nyata


Kalau Anda pikir tambang ilegal hanya dilakukan oleh penambang kecil-kecilan, Anda keliru. Banyak perusahaan besar juga ikut bermain di area yang tak diizinkan. Sering kali, mereka masuk kawasan hutan lindung atau lahan masyarakat dengan restu pihak tertentu.

Ketika warga protes, ada dua opsi: pendekatan halus dengan bantuan sosial, atau pendekatan keras dengan tekanan hukum. Jika media mulai menyorot, bisa segera dialihkan ke isu lain. Ini bukan teori konspirasi, tapi strategi yang sudah teruji.

Babak Akhir: Jalan Keluar atau Jalan di Tempat?


Anda sudah tahu, rantai korupsi di pertambangan nikel ini tak sekadar soal uang, tapi juga kekuasaan. Semua saling melindungi: spekulan, birokrat, pengusaha, aparat, bahkan media. Maka, pertanyaannya: bisakah kita keluar dari lingkaran ini?

La Husen menawarkan solusi: transparansi, digitalisasi perizinan, dan pengawasan independen. Pemerintah harus serius membenahi sistem perizinan agar tidak mudah dimanipulasi. Terdengar klise? Mungkin iya, mungkin tidak.

Tapi harapan terbesar tetap ada di masyarakat. Kita harus terus mengawasi, menyoroti, dan menolak tunduk pada sistem yang sudah lama menguntungkan segelintir orang. Jika tidak, nikel akan tetap menjadi berkah bagi elite, sementara rakyat hanya kebagian debunya.


*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an




Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

BRI Salurkan KUR Rp27,72 Triliun dalam 2 Bulan

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

Badai Alfred Mengamuk di Queensland, Ribuan Rumah Gelap Gulita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

DPR Cek Kesiapan Anggaran PSU Pilkada 2025

Senin, 10 Maret 2025 | 11:36

Rupiah Loyo ke Rp16.300 Hari Ini

Senin, 10 Maret 2025 | 11:24

Elon Musk: AS Harus Keluar dari NATO Supaya Berhenti Biayai Keamanan Eropa

Senin, 10 Maret 2025 | 11:22

Presiden Prabowo Diharapkan Jamu 38 Bhikkhu Thudong

Senin, 10 Maret 2025 | 11:19

Harga Emas Antam Merangkak Naik, Cek Daftar Lengkapnya

Senin, 10 Maret 2025 | 11:16

Polisi Harus Usut Tuntas Korupsi Isi MinyaKita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:08

Pasar Minyak Masih Terdampak Kebijakan Tarif AS, Harga Turun di Senin Pagi

Senin, 10 Maret 2025 | 11:06

Lebaran di Jakarta Tetap Seru Meski Ditinggal Pemudik

Senin, 10 Maret 2025 | 10:50

Selengkapnya