DUNIA penerbangan Indonesia mengalami dinamika yang cukup ironis setidaknya dalam 25 tahun terakhir. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kebutuhan akan transportasi udara seharusnya menjadi prioritas utama untuk menghubungkan berbagai wilayahnya yang tersebar. Sayangnya, awal tahun 2025 menandai berakhirnya era maskapai penerbangan milik negara di Indonesia, dengan Merpati Nusantara Airlines, Pelita Air Service, dan akhirnya Garuda Indonesia mengalami kebangkrutan alias gulung tikar.
Kondisi ini mencerminkan berbagai permasalahan mendasar yang tidak hanya berkaitan dengan ekonomi. Sebuah produk cemerlang yang sangat berhasil dari gabungan budaya korup dan ketidakpedulian para elit dan kita semua terhadap sistem perhubungan udara nasional. Mana yang benar tidak akan pernah diketahui selama tidak dilakukan proses investigasi terhadap ini semua.
Investigasi tentang mengapa maskapai penerbangan milik negara secara sistematis bubar jalan satu per satu di alur waktu sepajang era 25 tahun belakangan ini. Sungguh menyedihkan.
Kegagalan dalam Pengelolaan Maskapai Milik NegaraKeberlanjutan bisnis maskapai milik negara sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari manajemen yang buruk, beban utang yang tinggi, hingga intervensi politik yang kurang tepat.
Garuda Indonesia, sebagai contoh, telah berjuang selama bertahun-tahun untuk keluar dari jeratan utang dan praktik bisnis yang tidak efisien. Penyelamatan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk restrukturisasi utang dan suntikan modal terbukti hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, ketidakmampuan Garuda untuk bersaing dengan maskapai swasta yang lebih fleksibel dan agresif dalam strategi bisnisnya membuat maskapai kebanggaan nasional ini harus menyerah kalah telak tanpa ampun sekaligus babak belur.
Ketika jajaran pimpinan perusahaan Garuda akhirnya berpindah tangan ke personel manajemen yang berasal dari Lion Air Group, banyak yang mempertanyakan nasib orientasi pelayanan publik dalam industri penerbangan Indonesia. Demikian pula mengenai company safety culture yang berkelas dari Garuda selama ini yang pasti akan berubah dengan drastis.
Maskapai milik negara seperti Merpati Nusantara Airlines misalnya, seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melayani seluruh masyarakat, termasuk di daerah-daerah terpencil yang tidak terlalu menguntungkan secara komersial. Namun, ketika semua maskapai dikelola dengan pendekatan bisnis semata, wilayah-wilayah yang sebelumnya masih bisa dijangkau dengan layanan subsidi bisa saja ditinggalkan karena dianggap tidak menguntungkan. Hilang lenyaplah sudah jejaring penerbangan pemersatu bangsa Indonesia.
Dampak Ekonomi: Ketergantungan pada Pihak AsingKehadiran Indonesia Airlines yang diumumkan pada awal bulan Maret 2025 seakan menjadi harapan baru bagi penerbangan nasional. Namun, kenyataan pahit harus diterima ketika diketahui bahwa maskapai ini merupakan badan usaha milik negara Singapura. Meskipun menggunakan nama “Indonesia Airlines”, faktanya maskapai ini adalah perpanjangan tangan dari negara lain dalam upaya tiada akhir untuk menguasai sektor penerbangan di Indonesia. Sebuah fakta bahwa Indonesia adalah sebuah market yang sangat mengiurkan dalam sisi bisnis, sejak dahulu kala.
Dari perspektif ekonomi, ini menjadi indikasi bahwa Indonesia semakin kehilangan kendali atas industri strategisnya. Sektor penerbangan bukan hanya sekadar bisnis transportasi, tetapi juga memiliki dampak yang luas terhadap proses pembangunan ekonomi dalam negeri. Dengan maskapai nasional yang semakin terpinggirkan dan digantikan oleh perusahaan asing, arus uang yang seharusnya bisa berputar di dalam negeri kini malah harus terkuras mengalir ke luar negeri.
Ketergantungan terhadap maskapai asing juga dapat menghambat upaya pengembangan industri aviasi dalam negeri. Keberadaan maskapai nasional yang kuat seharusnya bisa menjadi pemacu yang ampuh bagi industri manufaktur pesawat, perawatan pesawat (Maintenance, Repair, and Overhaul/MRO), serta pelatihan sumber daya manusia di sektor penerbangan.
Namun, dengan dominasi asing, peluang ini semakin mengecil dan Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi perusahaan penerbangan dari luar. Indonesia akan membuktikan dirinya sebagai sapi perahan yang sangat subur dan menggairahkan,yang siap untuk di peras sampai titik darah penghabisan.
Aspek Pertahanan: Ancaman terhadap Kedaulatan UdaraTidak hanya dari sisi ekonomi, kondisi ini juga terutama menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan udara Indonesia. Dalam perspektif pertahanan, penguasaan terhadap ruang udara merupakan aspek yang sangat krusial. Dengan tidak adanya maskapai nasional yang dikelola oleh negara sendiri, kontrol terhadap lalu lintas udara semakin sulit dilakukan.
Selain itu, negara asing yang memiliki kendali atas maskapai yang beroperasi di Indonesia juga bisa memiliki akses terhadap data strategis terkait semua hal tetek bengek dunia penerbangan di wilayah Indonesia.
Keamanan nasional dapat terganggu jika lalu lintas udara di Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh pihak asing. Negara yang memiliki kepentingan strategis di Indonesia bisa saja menggunakan maskapai yang mereka miliki untuk kepentingan intelijen atau pengumpulan data.
Selain itu, dalam situasi krisis atau konflik, ketergantungan pada maskapai asing bisa menjadi kendala dalam mobilisasi cepat sumber daya pertahanan. Khususnya dalam menghadapi ancaman keamanan nasional dan juga dalam menghadapi bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia.
Lebih jauh lagi, dengan hilangnya maskapai milik negara, Indonesia juga kehilangan instrumen penting dalam mendukung berbagai misi nasional, seperti pengangkutan logistik dalam situasi bencana, operasi militer, atau misi diplomatik. Maskapai nasional seharusnya bisa menjadi alat utama strategis negara dalam menghadapi berbagai situasi darurat yang bisa terjadi setiap saat.
Solusi dan Harapan untuk Masa DepanMenghadapi realitas ini, diperlukan langkah konkret untuk membangun kembali industri penerbangan nasional yang lebih kuat dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memiliki visi jangka panjang dalam membangun ekosistem penerbangan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung kemandirian dan kedaulatan negara. Beberapa solusi yang mungkin masih bisa dipertimbangkan antara lain:
1. Revitalisasi Maskapai Nasional: Jika memungkinkan, pemerintah harus mempertimbangkan untuk membangun kembali maskapai nasional dengan model bisnis yang lebih sehat dan efisien, belajar dari kegagalan sebelumnya. Dalam hal ini modal awal sudah tersedia setiap saat, yaitu rute gemuk jalur domestik, penerbangan umrah dan haji flight.
2. Dukungan terhadap Industri Aviasi Domestik: Indonesia harus mengembangkan industri penerbangan dalam negeri, termasuk manufaktur pesawat dan MRO, agar tidak terus bergantung pada luar negeri.
3. Regulasi Ketat terhadap Maskapai Asing: Kehadiran maskapai asing harus diatur sedemikian rupa agar tetap memberi manfaat bagi Indonesia dan tidak merugikan kepentingan nasional.
4. Meningkatkan SDM Penerbangan: Pengembangan tenaga kerja di sektor penerbangan harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar tenaga kerja asing.
Sebagai penutup perlu kiranya untuk digaris bawahi bahwa wilayah udara diatas teritori Republik Indonesia adalah merupakan Sumber Daya Alam (SDA). Merujuk kepada konstitusi maka SDA harus dikuasai Negara dan di peruntukkan bagi sebesar besar kesejahteraan rakyat.
*Penulis aktif di Pusat Studi Air Power Indonesia.