Berita

Ilustrasi/AI

Publika

Demokrasi yang Penuh Bug

SENIN, 03 FEBRUARI 2025 | 08:15 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

DEMOKRASI, kata sebagian orang, termasuk sistem terbaik yang pernah diciptakan manusia, meskipun penuh cacat. Namun, ada juga yang berpendapat, demokrasi hanyalah eksperimen gagal yang sebaiknya segera ditutup, dikemas ulang, dan dikirim ke museum politik dunia. Salah satu pengeritiknya yang paling vokal, Curtis Yarvin, seorang insinyur komputer yang tampaknya lelah dengan sistem yang ia anggap lamban, membingungkan, dan penuh "bug".

The New York Times baru-baru ini mewawancarai Yarvin. Programmer yang menciptakan sistem Urbit  -sebuah proyek pengganti Internet yang lebih banyak menarik minat para penggemar teori eksentrik ketimbang revolusi digital ini kembali mengungkap gagasannya bahwa demokrasi merupakan sistem usang dan tak layak pakai. Alih-alih parlemen dan pemilu, ia menawarkan monarki berbasis CEO: seorang pemimpin tunggal yang memiliki kekuasaan absolut, layaknya pemimpin perusahaan raksasa yang tak perlu repot-repot mendengar suara pelanggan.

Ide ini, tentu saja, mengundang gelak tawa dan kecemasan. Bagi para pemuja kebebasan, usulan Yarvin terdengar seperti naskah film distopia kelas B. Namun, di kalangan tertentu, terutama Silicon Valley dan lingkaran konservatif Amerika, pemikirannya memiliki daya tarik tersendiri. Mungkin karena dalam benak mereka, dunia lebih baik jika dijalankan seperti startup teknologi agile, disruptif, dan tanpa "demokrasi." Baginya, pemimpin kuat (seperti CEO) dapat mengambil keputusan cepat dan efektif tanpa terhambat oleh birokrasi atau proses demokratis yang lamban.

Meskipun ide-idenya terdengar seperti fantasi seorang penggemar teori konspirasi, Yarvin telah mendapatkan pengikut di kalangan elite kekuasaan. Wakil Presiden terpilih JD Vance, misalnya, telah mengutip gagasan Yarvin tentang "de-wokeifikasi" institusi AS. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Marc Andreessen (venture capitalist) dan Peter Thiel (miliarder konservatif) telah memuji pemikirannya.

Thiel, salah seorang pendiri PayPal dan pendukung utama Donald Trump, menyebut Yarvin sebagai "sejarawan yang kuat." Namun, Yarvin sendiri meragukan bahwa Trump atau pemerintahan manapun akan benar-benar menerapkan idenya. Menurutnya, birokrasi AS terlalu kuat dan mengakar untuk diubah secara drastis. Trump, meskipun dianggap sebagai "CEO" yang kuat, tetap terbatas oleh sistem yang ada.

Di bawah nama samaran Mencius Moldbug, Yarvin menulis blog Unqualified Reservations (2007-2014). Blog ini berisi esai-esai panjang yang mengkritik demokrasi, liberalisme, dan sistem politik modern. Yarvin dikenal karena gaya penulisannya yang provokatif, penuh dengan referensi sejarah, dan sering kali sarkastik. Tulisan-tulisannya mencakup kritik terhadap media arus utama, akademisi, birokrasi pemerintah, dan sistem demokrasi secara umum.

Ada sesuatu yang ironis dalam argumen Yarvin. Ia mengkritik demokrasi karena dianggap dikuasai oleh segelintir elite yang berkedok "kedaulatan rakyat." Namun, solusinya adalah mengganti sistem itu dengan sistem yang lebih elite lagi. Hanya kali ini, elitenya satu orang saja, seorang "raja CEO". 

Dalam teori Yarvin, tidak ada ruang bagi rakyat jelata untuk ikut campur. Demokrasi, katanya, terlalu banyak kompromi; lebih baik serahkan segalanya kepada satu orang dengan otoritas mutlak.

Yarvin mengklaim bahwa sejarah menunjukkan monarki bisa menjadi sistem yang efektif. Ia merujuk pada tokoh-tokoh seperti Franklin Delano Roosevelt (FDR), yang menurutnya bertindak seperti seorang "CEO" selama masa. Yarvin berpendapat bahwa FDR mengambil alih kekuasaan hampir seperti seorang diktator, tetapi tindakannya dianggap positif karena menghasilkan perubahan besar.

Namun, argumen Yarvin ini diwarnai oleh selektivitas sejarah. Ia mengabaikan fakta bahwa banyak monarki dan diktator dalam sejarah justru membawa bencana. Dari Nero hingga Hitler, Stalin, dan Mao, kekuasaan absolut sering kali berujung pada kekerasan dan penindasan. Yarvin mencoba membedakan antara "monarki yang baik" dan "monarki yang buruk," tetapi kriteria yang ia gunakan terkesan subjektif dan tidak konsisten.

Tentu, ide ini terdengar menggoda bagi mereka yang frustrasi dengan politik transaksional dan kelambanan birokrasi. Tapi apakah betul seorang pemimpin tunggal bisa lebih efektif? Ataukah kita hanya akan berakhir dengan kombinasi Elon Musk sebagai presiden dan sistem operasi Windows 98 sebagai konstitusi?

Di Indonesia, kritik terhadap demokrasi juga bukan barang baru. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru, kita telah menyaksikan berbagai eksperimen dengan demokrasi terbatas, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi yang lebih mirip birokrasi kepemimpinan absolut. Kritik terhadap demokrasi di negeri ini sering kali muncul dalam bentuk nostalgia otoritarianisme: bahwa dulu semuanya lebih "tertib," lebih "efisien," dan lebih "terkendali."

Beberapa akademisi dan politisi kita pun tak jauh berbeda dari Yarvin. Mereka mengatakan bahwa demokrasi hanya menghasilkan kebisingan, bukan kebijakan. Pemilu dianggap ajang pemborosan, sementara rakyat yang seharusnya pemegang kedaulatan justru menjadi objek jual-beli suara. Jika Yarvin mengusulkan monarki CEO, di Indonesia, yang sering muncul adalah wacana "kepemimpinan kuat" ala orde lama yang penuh romantisasi.

Tentu, kritik terhadap demokrasi bukan berarti harus membuangnya begitu saja. Seperti halnya perangkat lunak, demokrasi membutuhkan pembaruan berkala, debugging, dan kadang-kadang, penghapusan fitur yang tidak berguna. Namun, menggantinya dengan "monarki CEO" atau diktator yang "baik"? Itu seperti mengganti sistem operasi yang lambat dengan virus Trojan hanya karena tampak lebih "langsung" dan "efisien".

Curtis Yarvin dan para pengeritik demokrasi lainnya, baik di Amerika maupun di Indonesia, memiliki satu poin yang benar: demokrasi kita tidak sempurna. Masih banyak cacat di dalamnya, seperti demokrasi yang kini sering dibajak para oligarki. Namun, solusinya bukanlah menukar kebebasan dengan otoritarianisme, melainkan memperbaiki sistem yang ada.

Demokrasi bisa jadi memang cacat, tapi dalam sejarah manusia, kita belum menemukan sistem yang lebih baik dalam menjaga hak dan kebebasan individu. Jika ada yang berpikir bahwa seorang "raja CEO" atau "pemimpin kuat" adalah jawaban, mungkin yang sebenarnya dibutuhkan bukan penguasa baru, tetapi rakyat yang lebih sadar akan kekuatan dan tanggung jawab mereka dalam sistem ini.

Jadi, apakah demokrasi harus diperbaiki? Tentu. Apakah kita harus menggantinya dengan sistem monarki teknologi? Tidak, kecuali kita ingin hidup dalam dunia di mana algoritma dan oligarki menjadi satu-satunya hukum yang berlaku.

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

KSST Yakin KPK Tindaklanjuti Laporan Dugaan Korupsi Libatkan Jampidsus

Jumat, 24 Januari 2025 | 13:47

UPDATE

HUT Ke-17 Partai Gerindra, Hergun: Momentum Refleksi dan Meneguhkan Semangat Berjuang Tiada Akhir

Senin, 03 Februari 2025 | 11:35

Rupiah hingga Mata Uang Asing Kompak ke Zona Merah, Trump Effect?

Senin, 03 Februari 2025 | 11:16

Kuba Kecam Langkah AS Perketat Blokade Ekonomi

Senin, 03 Februari 2025 | 11:07

Patwal Pejabat Bikin Gerah, Publik Desak Regulasi Diubah

Senin, 03 Februari 2025 | 10:58

Kebijakan Bahlil Larang Pengecer Jual Gas Melon Susahkan Konsumen dan Matikan UKM

Senin, 03 Februari 2025 | 10:44

Tentang Virus HMPV, Apa yang Disembunyikan Tiongkok dari WHO

Senin, 03 Februari 2025 | 10:42

Putus Rantai Penyebaran PMK, Seluruh Pasar Hewan di Rembang Ditutup Sementara

Senin, 03 Februari 2025 | 10:33

Harga Emas Antam Merosot, Satu Gram Jadi Segini

Senin, 03 Februari 2025 | 09:58

Santorini Yunani Diguncang 200 Gempa, Penduduk Diminta Jauhi Perairan

Senin, 03 Februari 2025 | 09:41

Kapolrestabes Semarang Bakal Proses Hukum Seorang Warga dan Dua Anggota Bila Terbukti Memeras

Senin, 03 Februari 2025 | 09:39

Selengkapnya