Dalam beberapa bulan terakhir, terjadi gelombang PHK massal dan pengunduran diri karyawan di pabrik Foxconn di seluruh Tiongkok. Financial Post melaporkan, di Zhengzhou kerumunan besar karyawan telah berkumpul di sepanjang Factory Avenue untuk memproses pengunduran diri mereka.
Pembicaraan di media sosial ramai dengan laporan tentang perampingan yang meluas, dengan beberapa orang berspekulasi bahwa Foxconn mungkin akan meninggalkan Tiongkok sama sekali. Rekaman menunjukkan asrama Foxconn benar-benar kosong, kamar dan jendela mereka ditinggalkan. Daerah yang dulunya ramai dipenuhi pedagang kaki lima dan kerumunan yang ramai sekarang menyerupai kota hantu.
Sebagai produsen kontrak elektronik terbesar di dunia, Foxconn mengoperasikan pabrik di seluruh dunia, dengan operasinya di Tiongkok yang sangat luas. Perusahaan ini mengelola lebih dari 40 pusat manufaktur di seluruh wilayah seperti Delta Sungai Mutiara, Delta Sungai Yangtze, dan Bohai Rim. Fasilitas utama berlokasi di Shenzhen, Zhengzhou, Tianjin, Qingdao, dan Chongqing. Namun, pada akhir tahun 2024, platform media sosial seperti Weibo dan Zhihu dibanjiri laporan PHK besar-besaran di seluruh fasilitas Foxconn.
Seorang karyawan, yang telah bekerja di Foxconn selama hampir 17 tahun, seperti dilaporkan
Financial Post, menjelaskan mengapa ia menghargai perusahaan ini. Foxconn, katanya, benar-benar mematuhi undang-undang ketenagakerjaan, memastikan gaji dan kontrak dikeluarkan sesuai dengan peraturan. Lembur bersifat sukarela, upah lembur dihitung dengan benar, dan cuti tahunan yang tidak digunakan diubah menjadi upah lembur. Gaji dibayarkan tepat waktu, bahkan selama hari libur.
Sebaliknya, banyak pabrik dalam negeri memberlakukan jam kerja yang sangat panjang, memotong upah secara sewenang-wenang, dan mengeksploitasi pekerja. Misalnya, karyawan di Leap Motor harus berjuang untuk upah yang belum dibayarkan dan asuransi sosial.
Di sisi lain, perusahaan seperti Honda, Tesla, dan Toyota menawarkan paket kompensasi yang besar selama PHK, membayar sebanyak N ditambah tiga atau N ditambah enam. Perbedaan perlakuan yang mencolok ini telah menimbulkan pertanyaan tentang siapa kapitalis sebenarnya.
Pergerakan Foxconn berdampak signifikan terhadap ekonomi lokal dan lingkungan industri. Tahun ini khususnya suram bagi perantara tenaga kerja yang bekerja dengan Foxconn. Toko-toko fisik memiliki lebih sedikit pelanggan, dan jalanan tampak tidak terlalu ramai. Banyak orang telah pergi, mungkin kembali ke kampung halaman mereka atau mencari peluang di tempat lain. Perekonomian terasa stagnan, dengan perusahaan-perusahaan besar memberhentikan karyawan, usaha-usaha kecil tutup, dan banyak orang menganggur.
Sementara itu, negara-negara tetangga berkembang pesat. Perusahaan-perusahaan Jepang membukukan laba yang memecahkan rekor meskipun penjualan mobil di Tiongkok menurun. Toyota dan Honda unggul di pasar global.
Financial Post juga melaporkan, ekspor Korea Selatan, barometer kesehatan ekonomi global, telah tumbuh selama 10 bulan berturut-turut, dan tingkat hunian kantor Seoul sangat mengesankan, yakni 98 persen.
Vietnam, yang didukung oleh investasi besar-besaran dari raksasa multinasional, sedang berkembang pesat. Samsung telah menginvestasikan lebih dari 160 miliar yuan di Vietnam, sementara Apple telah menggelontorkan lebih dari 100 miliar yuan ke dalam rantai pasokannya di sana selama lima tahun terakhir, bahkan merencanakan pusat AI di Kota Ho Chi Minh.
Pasar saham negara tetangga telah meroket, melampaui Hong Kong dalam nilai pasar total, menjadikannya ekonomi terbesar keempat di dunia. Sebaliknya, bisnis asing dengan cepat menarik diri dari Tiongkok, dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit. Kemakmuran negara-negara tetangga menyoroti kenyataan yang pahit: divisi industri global sedang mengalami pergeseran dan penataan ulang yang signifikan.
Analis berpendapat bahwa penarikan diri Foxconn hanyalah puncak gunung es. Banyak bisnis Taiwan dan Barat sekarang memandang Tiongkok sebagai lingkungan yang tidak stabil untuk menjalankan bisnis normal. Di Suzhou, yang pernah menjadi bintang cemerlang manufaktur Tiongkok, situasinya mengerikan. Lebih dari 20.000 bisnis di Suzhou telah tutup atau menghentikan operasi, yang menyebabkan melonjaknya pengangguran dan kemerosotan ekonomi yang tajam. Ratusan ribu pekerja migran terpaksa pergi.
Hal ini tidak terbatas pada Suzhou. Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Shenzhen menghadapi tantangan serupa, dengan penutupan bisnis yang meluas, penghentian operasi, penarikan modal asing, dan eksodus pekerja migran.
Ekonomi Tiongkok tertinggal di era perubahan global ini. PHK massal dan pengunduran diri di Foxconn merupakan indikasi yang jelas dari tantangan yang lebih luas yang dihadapi ekonomi Tiongkok. Pusat manufaktur yang dulunya berkembang pesat kini bergulat dengan kemerosotan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada ekonomi lokal dan regional.
Ketika negara-negara tetangga terus berkembang dan menarik investasi asing, Tiongkok harus mengatasi masalah mendasar yang telah menyebabkan krisis ini. Pergeseran divisi industri global dan penataan ulang menyoroti perlunya Tiongkok untuk beradaptasi dan menemukan cara untuk menstabilkan ekonominya dan mempertahankan posisinya di pasar global.