Belakangan ini rumor terkait bahaya Bisphenol A (BPA) dalam galon air minum masih jadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Klaim berlebih bahwa BPA dapat bermigrasi dari galon plastik ke dalam air dan membahayakan kesehatan manusia sering terdengar di berbagai media sosial, berita, hingga grup WhatsApp.
Namun, apakah benar hanya BPA dalam galon yang menjadi masalah? Atau mungkin ada faktor lain yang membuat galon lebih disorot di Indonesia dibandingkan dengan bahan plastik lainnya?
Berikut ini sejumlah fakta terkait BPA yang boleh jadi belum banyak diketahui publik.
BPA dan GalonBPA (Bisphenol A) adalah senyawa kimia yang banyak digunakan dalam pembuatan plastik, terutama dalam produk-produk berbahan dasar polikarbonat, seperti botol minuman termasuk galon air. BPA memungkinkan plastik menjadi lebih kuat dan transparan.
Perlu diingat BPA pada galon hanya digunakan dalam jumlah yang sedikit dan di bawah ambang yang ditetapkan BPOM. Jadi bahaya BPA yang digembar-gemborkan menjadi rancu dengan bahaya BPA sebagai zat kimia yang berdiri sendiri.
BPA juga dapat ditemukan dalam banyak produk plastik sehari-hari lainnya, seperti botol plastik, wadah makanan, kertas print, perangkat otomotif, tutup botol, CD, peralatan elektronik bahkan kemasan makanan kaleng dan sediaan medis dan lain-lain.
Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dokter Ngabila Salama menegaskan, meskipun BPA ditemukan di berbagai banyak benda namun masih aman digunakan, termasuk pada galon.
Artinya, masyarakat tidak perlu khawatir, meminum air dari galon tidak akan menimbulkan gangguan kesehatan.
"BPA aman, selama tidak bermigrasi ke manusia dalam jumlah tinggi melebihi ambang batas normal," jelas Ngabila yang juga ahli kesehatan masyarakat ini dalam keterangannya, Rabu, 15 Januari 2025.
Migrasi BPA dari Galon ke Air TerbantahkanKekhawatiran migrasi BPA dari galon ke air pun sudah terbantahkan melalui berbagai penelitian, seperti yang dilakukan Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Islam Makassar (UIM), dan dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Tiga penelitian yang dilakukan tidak menemukan migrasi BPA dari galon polikarbonat ke dalam air.
Kepala Program Studi Kimia Universitas Islam Makassar (UIM), Endah Dwijayanti mengatakan, pemberitaan yang mempertanyakan keamanan air minum galon terkait adanya luruhan BPA dari kemasan membuat resah masyarakat. Namun penelitian terhadap galon air minum dalam kemasan tidak mendeteksi adanya migrasi BPA ke dalam air.
"Kami mengumpulkan beberapa sampel galon guna ulang dari lima titik di lima kecamatan, lalu kami uji kandungan BPA-nya. Setelah dianalisis dengan instrumen GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) hasilnya negatif, menunjukkan tidak ada kandungan BPA yang terdeteksi dalam air galon," paparnya.
Dosen Teknik Kimia UMI Makassar, Gusnawati menjelaskan, ada penelitian serupa dengan judul "Analisis Migrasi Cemaran Bisphenol-A (BPA) Kemasan Plastik Polikarbonat (PC) pada produk air minum dalam kemasan galon di wilayah Kota Makassar," yang telah dipublikasikan di Jambura, Journal of Chemistry, Universitas Negeri Gorontalo.
Penelitian ini berfokus pada perbandingan kadar BPA antara merek galon nasional dan lokal. Instrumen atau alat ukur penelitian ini menggunakan spektrometer UV-Vis yang merupakan metode umum untuk melakukan pengujian analisis kandungan zat pada industri farmasi dan makanan.
"Dalam penelitian ini tidak ditemukan BPA pada galon polikarbonat dengan kode No.7 yang disimpan, baik di dalam maupun di luar ruangan selama 7 hari. Plastik polikarbonat tidak terurai pada suhu normal, sehingga tidak ada BPA yang terdeteksi berpindah ke permukaan galon atau ke air di dalamnya," jelasnya.
Sementara Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, Akhmad Zainal Abidin menegaskan, galon polikarbonat aman digunakan masyarakat. Penelitian ITB dilakukan terhadap empat sampel merek air minum dalam kemasan (AMDK) terpopuler di Indonesia.
"Dari penelitian yang kami lakukan, kami tidak mendeteksi (non-detected/ND) BPA di semua sampel AMDK yang diuji," kata Zainal.
Penyampaian Separuh Fakta Publikasi yang dilakukan di Indonesia terkait bahaya BPA hanya separuh-separuh atau tidak utuh. Publikasi dilakukan dengan hanya menyoroti bahaya BPA, apalagi dalam galon dan tidak pada kemasan lain yang memiliki kandungan BPA lebih tinggi dari kemasan air minum.
Informasi juga disampaikan menggunakan aturan otoritas keamanan pangan Eropa (EFSA) dan Amerika Serikat (FDA) yang memang melarang penggunaan BPA namun hanya pada botol bayi, bukan pada galon dan benda-benda lainnya.
Pakar Teknologi Plastik, Wiyu Wahono menjelaskan, pelarangan penggunaan BPA pada botol bayi memang sudah lama dilakukan mengingat berat badan bayi yang berbeda dengan orang dewasa. Dosen teknologi plastik di salah satu kampus di Jerman ini menerangkan, pada orang dewasa, kalaupun ada migrasi dan terkonsumsi, paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urine atau zat sisa lainnya.
"Dikeluarkan sekitar 2 hingga 4 jam sekali melalui urine atau zat sisa. Jadi tidak akan terjadi akumulasi," katanya.
Wiyu melanjutkan, penelitian terkait BPA yang dilakukan oleh EFSA dan FDA sebenarnya tidak sesuai apabila dijadikan acuan karena dilakukan dengan mengambil sampling pada hewan. Sehingga, sambung dia, tidak cocok apabila dampak yang terjadi pada hewan diterapkan langsung ke manusia.
Dia mengungkapkan, Eropa tidak melarang kemasan PC hanya kemasan yang mengandung BPA kecuali yang melebihi ambang batas aman. Artinya, selama masih di bawah tolerable daily intake (TDI) alias ambang batas aman masih boleh dipergunakan.
Bijak Menyikapi Isu BPAPenting untuk mengetahui bahwa BPA tidak hanya terdapat dalam galon air minum. Begitupun dengan klaim tentang bahaya BPA dalam galon tidak sepenuhnya didukung oleh bukti ilmiah. Penelitian yang dilakukan oleh ITB, UIM dan UMI menunjukkan bahwa tidak ada migrasi BPA yang signifikan ke dalam air dari galon-galon yang diuji.
Dengan demikian, alih-alih panik atau terjebak dalam klaim yang belum terbukti, lebih baik tingkatkan kesadaran dan pemahaman tentang masalah BPA dengan bijak.
Dokter gizi klinis Karin Wiradarma meminta masyarakat untuk lebih kritis dan tidak menelan secara utuh informasi yang didapat dari satu sumber sehingga harus mencari kebenaran lebih jauh. Dia mengimbau agar publik tidak terjebak dalam berbagai isu bias terkait bahaya BPA di Indonesia.
"Kita harus berpegang pada ilmu pengetahuan, harus mereview jurnal ilmiah dan jangan sampai cuma dengan dari sosmed yang asal sumbernya bisa dipertanyakan," katanya.