Berita

Kolase Anggota Komisi IV DPR Fraksi PDIP Prof Rokhmin Dahuri/RMOL

Politik

Pagar Laut Milik Aguan, Negara Tidak Boleh Kalah dari Oligarki

SELASA, 14 JANUARI 2025 | 12:05 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Komisi IV DPR meminta pemerintah serius menangani kebrutalan yang terjadi imbas polemik pemasangan pagar di laut Tangerang sepanjang 30,16 km tanpa izin. Diduga pihak Agung Sedayu Group yang dipimpin Sugianto Kusuma alias Aguan menjadi dalang di balik pemasangan tersebut. 

Anggota Komisi IV DPR Fraksi PDIP, Prof Rokhmin Dahuri merespons polemik tersebut dan meminta kepada pemerintah untuk tidak tunduk terhadap oligarki.
 

Terlebih, pemasangan pagar laut sepanjang 8 kilometer juga terjadi di wilayah Muara Gembong Bekasi, Jawa Barat. 

“Ya (negara) tidak boleh kalah (dari oligarki). Buat saya ini pelajaran berharga, bahwa ini adalah kebrutalan di negeri ini. Artinya, pembangunan yang begitu masif 30 km lebih dikit, pagar laut kok tanpa izin gitu ya? Dan ternyata kemarin sudah viral bahwa pekerjaan serupa sudah terjadi lebih dulu di Muara Gembong Bekasi, dan itu sangat boleh jadi tanpa izin juga gitu ya. Nah, berarti ini kan negara kalah oleh oligarki,” sesal Rokhmin saat berbincang Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL melalui sambungan telepon, Selasa, 14 Januari 2025. 

Komisi IV DPR, kata Rokhmin, telah menerima laporan dari berbagai elemen masyarakat bahwa pagar laut tersebut diduga dipasang oleh oknum oligarki. 

Namun, ia enggan mendahului fakta hukum terkait dugaan mayoritas masyarakat tersebut. Mengingat, Indonesia adalah negara hukum. 

“Kalau betul, dugaan kuat dan dugaan mayoritas rakyat bahwa pelaku ini ya oligarki itu. Cuman kalau dalam kaidah hukum dan ilmiah kan harus dibuktikan dulu, tapi 95 persen gitu ya, semua pendapat mengarah ke oligarki itu. Ini kan berarti brutal. Dan ini membahayakan bangsa,” tegas mantan Menteri KP era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ini.  

Rokhmin menyesalkan jika para oligarki berperilaku demikian. Menurutnya, Indonesia sebagai negara hukum sudah sepatutnya memberikan kepastian hukum jika ingin mengundang investasi dari dalam maupun luar negeri. 

“Kalau saya mencoba objektif ya, heboh (pagar laut), dunia pasti mendengar. Ini kan bukti keras bahwa 10 tahun terakhir Amerika dan China kan perang dagang tuh, perusahaan-perusahaan, industri-industri di Amerika maupun Eropa kan pindah ke Asia Tenggara, ke kita (Indonesia) nol. Karena apa? Karena ya enggak ada kepastian hukum,” kata Peraih Gelar Ph.D dari School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Kanada pada 1991 ini. 

Atas dasar itu, Prof Rokhmin yang juga Politikus Senior PDIP ini berharap peristiwa pemasangan pagar laut berkilo-kilometer tanpa izin tersebut tidak boleh lagi terjadi di kemudian hari. 

“Jadi, ini harus benar-benar tuntas jangan sampai terjadi ke depan peristiwa semacam ini,” harapnya. 

Lebih lanjut, Prof Rokhmin meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas skandal pagar laut di Tangerang yang membahayakan ekosistem laut dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut.

“Itu harus segera diusut. Dan menterinya harus bekerja sama dengan instansi penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan seterusnya. Tapi saya berharap kepolisian dan kejaksaannya pun jangan masuk angin,” tegasnya. 

“Buat saya pembangunan di pesisir Tangerang dan Bekasi yang masif itu tanpa izin kan itu pasti oknum penegak hukumnya masuk angin, bener gak? Kalau enggak, 30km 6 kecamatan dan 16 desa masa gak diketahui lalu-lalang bambu maupun material lain, masak gak diketahui Polres, Polsek, Dandim dan segala macam. Ini kan bener-bener negara istilahnya Konoha bener! Bener Presiden Prabowo tuh dalam bukunya paradoks Indonesia tuh, harusnya beliau tegakkan tuh,” demikian Rokhmin Dahuri.

Pagar laut sepanjang 30,16 km terpasang dan membentang di 16 desa dan 6 kecamatan, termasuk Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Teluknaga. Wilayah ini masuk dalam kawasan pemanfaatan umum yang diatur oleh Perda Nomor 1 Tahun 2023. Kawasan ini meliputi berbagai zona penting seperti zona perikanan tangkap, pelabuhan perikanan, hingga zona pariwisata dan pengelolaan energi.  

Menurut data DKP Provinsi Banten, ada 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya di kawasan tersebut. Jika dihitung dengan rata-rata jumlah anggota keluarga, maka sekitar 21.950 jiwa terkena dampak ekonomi akibat pemagaran laut ini.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya