Berita

Ilustrasi/Net

Suara Mahasiswa

Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Langkah Strategis Lindungi Masyarakat

SENIN, 02 DESEMBER 2024 | 16:29 WIB

SAAT ini Indonesia menghadapi tantangan triple burden di mana terjadi peningkatan angka penyakit tidak menular, masih adanya penyakit menular, dan munculnya penyakit baru (Ladusingh et al, 2018). Penyakit tidak menular (PTM) menjadi salah satu urgensi isu kesehatan dunia baik di negara maju maupun berkembang.

Sekitar 71 persen penyebab kematian di dunia pada tahun 2016 disebabkan PTM yang telah membunuh sebanyak 41 juta dari 57 juta jiwa per tahun. Sementara itu, angka kematian akibat PTM di Indonesia lebih tinggi, yaitu sekitar 73 persen dengan proporsi penyakit kardiovaskular 35 persen, kanker 12 persen, penyakit pernapasan kronis 6 persen, diabetes 6 persen, dan risiko kematian dini lebih dari 20 persen (WHO, 2018).
 

Tingginya PTM di Indonesia tidak terlepas dari perubahan pola gaya hidup masyarakat yang unhealthy diet yaitu kurangnya mengkonsumsi buah, sayur, dan protein, tetapi justru mengonsumsi makanan tinggi lemak dan garam, dan juga minuman tinggi kadar gula. Terjadi peningkatan tren konsumsi minuman berpemanis dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Hal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya angka PTM.

Indonesia menempati posisi kelima sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia. Menurut data International Diabetes Foundation (IDF) tahun 2021, angka pengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa dan diprediksi akan terus naik hingga mencapai 28,5 juta jiwa di tahun 2045.

Faktor paling dominan yang menyebabkan penyakit diabetes melitus adalah konsumsi gula yang tinggi pada minuman berpemanis. Sugar-Sweetened Beverages (SSBs) merupakan minuman yang diberikan gula tambahan seperti gula jagung, fruktosa, glukosa, sukrosa, dan sebagainya. SSBs dapat ditemukan dalam minuman berkarbonasi, tidak berkarbonasi, minuman energi, minuman kopi dan teh dalam kemasan, maupun dalam susu beraroma (WHO, 2017).

Selain diabetes, konsumsi minuman berpemanis secara berlebih berkontribusi besar dalam tingginya angka kasus obesitas di Indonesia. Menghimpun data dari Central Intelligence Agency’s World Factbook, Indonesia sendiri berada di posisi ke-4 dalam daftar negara Asia Tenggara dengan tingkat obesitas tertinggi.

Survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 23,4 persen penduduk dewasa di Indonesia mengalami obesitas. Meskipun tidak mematikan, obesitas meningkatkan potensi seseorang untuk terkena penyakit kardiovaskular.

Peningkatan prevalensi PTM di Indonesia sejalan dengan meningkatnya biaya kesehatan yang ditanggung negara untuk menangani penyakit tersebut. BPJS Kesehatan pada tahun 2022 mengeluarkan dana untuk pembiayaan PTM mencapai Rp24,1 triliun. Sebanyak 28 persen dari total biaya pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan dipergunakan untuk membiayai penyakit katastropik seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal.

Pembiayaan penyakit jantung menduduki peringkat pertama yaitu sebesar Rp12,1 triliun dengan total kasus 15 juta pasien, kanker Rp4,5 triliun, stroke Rp3,2 triliun, dan disusul gagal ginjal Rp2,1 triliun.

Pemerintah perlu bertindak serius untuk melakukan pencegahan dan pengendalian PTM di Indonesia. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui kebijakan fiskal yaitu dengan mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (Cukai MBDK).

Terdapat beberapa pertimbangan dalam pengenaan cukai MBDK, terutama menyangkut masalah kesehatan dan besarnya pembiayaan negara untuk penyakit yang ditimbulkan.

Cukai merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu (selective taxes on goods and services) yang artinya cukai hanya dikenakan terhadap barang dan jasa yang tertentu yang dianggap memiliki eksternalitas negatif atau karena alasan keadilan vertikal.

Di samping menjalankan fungsi budgetair, cukai berfungsi sebagai instrumen fiskal regulerend. Cukai menjadi alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu.

Sifat dan karakteristik Barang Kena Cukai dijelaskan pada Pasal 2 UU 39/2007 tentang Cukai yaitu: a) barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan; b) peredarannya perlu diawasi; c) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; d) atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Berdasarkan karakteristik tersebut, minuman berpemanis dapat dikatakan layak untuk dikategorikan sebagai barang kena cukai.

Rencana pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pemungutan cukai minuman berpemanis sudah ada sejak 2016 dan diangkat lagi pada tahun 2020. Setelah lama tidak terealisasi, akhirnya rencana pengenaan cukai MBDK tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.

Pemerintah memasukan cukai MBDK di dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN sebagai ekstensifikasi penerimaan cukai di tahun 2025.
 
Penerapan cukai MBDK bertujuan untuk meningkatkan harga eceran minuman berpemanis, sehingga kenaikan harga ini diharapkan sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat Indonesia terhadap minuman berpemanis.

Penerapan kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong produsen MBDK untuk memproduksi minuman berpemanis dengan lebih rendah gula, mengingat fakta bahwa produksi dan juga penjualan minuman berpemanis cukup besar dan masif di Indonesia. Di mana total penjualan MBDK di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 3.894 miliar liter.

Kemudian, penerimaan yang nantinya diperoleh dari cukai MBDK dapat digunakan untuk mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari MBDK.

Kebijakan penerapan cukai MBDK terbukti efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis di beberapa negara seperti Filipina, Thailand, Irlandia, Meksiko, dan Perancis.

Di Filipina sendiri, cukai MBDK meningkatkan harga penjualan minuman berpemanis rata-rata sebesar 20,6 persen di toko serba ada dan peningkatan harga 16,6 persen di supermarket.

Peningkatan harga tersebut terbukti menurunkan penjualan minuman berpemanis sebesar 8,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Artikel ini ditulis oleh Zilzia Kanaya
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Populer

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Indahnya Seragam Warna Cokelat

Sabtu, 30 November 2024 | 09:37

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Pengamat: Saham BUMN Anjlok Bukan karena BPI Danantara

Senin, 02 Desember 2024 | 16:11

Tim Hukum Maximus-Peggi Heran Tidak Boleh Ikut Pleno KPU soal Pilkada Mimika

Senin, 02 Desember 2024 | 16:01

Ketua KPU Jabar Diberhentikan DKPP

Senin, 02 Desember 2024 | 15:58

Delapan Orang Dicekal KPK Imbas Kasus Korupsi Pengolahan Karet Kementan

Senin, 02 Desember 2024 | 15:58

Remaja di Eropa Tak Akan Bisa Lagi Pakai Filter Cantik di TikTok

Senin, 02 Desember 2024 | 15:46

Bikin Khawatir, Kapal Selam Perang Rusia Terdeteksi di ZEE Filipina

Senin, 02 Desember 2024 | 15:45

Sebagai Marhaen, Tidak Seharusnya PDIP Menghina Rakyat

Senin, 02 Desember 2024 | 15:40

Kemenag Fokus Tingkatkan Mutu Pendidikan Diiringi Perbaikan Gizi

Senin, 02 Desember 2024 | 15:26

Makan Bergizi Rp10.000 per Porsi Telah Melalui Simulasi Matang

Senin, 02 Desember 2024 | 15:21

Erick Thohir Diminta Klarifikasi, 22 Bulan Melanggar Undang-Undang

Senin, 02 Desember 2024 | 15:13

Selengkapnya