Divisi Monitoring Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP), Brahma Aryana/Ist
Maraknya pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024, menjadi catatan merah demokrasi di Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Divisi Monitoring Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP), Brahma Aryana, dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, pada Jumat, 22 November 2024.
"Maraknya pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN di berbagai daerah, dan oknum aparat kepolisian pada saat tahapan kampanye Pilkada Serentak 2024, di samping menjadi catatan merah demokrasi," ujar dia.
Sosok yang kerap disapa Bram itu memaparkan, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI per 28 Oktober 2024, terdapat 130 kasus yang ditangani dari total 195 dugaan pelanggaran netralitas yang dilaporkan maupun ditemukan jajaran pengawas.
Sementara, pada Pemilu Serentak 2024, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima 417 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Berdasarkan laporan tersebut, terdapat 197 ASN di antaranya terbukti melanggar dan mendapatkan rekomendasi KASN, agar dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) masing-masing instansi.
"Ini juga menunjukkan bahwa belum bahkan tidak dihormati dan dihargainya norma-norma hukum dalam kontestasi demokrasi yang telah menjadi kesepakatan nasional untuk mutlak dipatuhi
semua pihak," urainya.
Oleh karena itu, KIPP berharap petinggi-petinggi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah
memberikan sikap, contoh, dan tauladan yang baik terhadap penghormatan dan penghargaan
nilai-nilai dan norma-norma hukum berdemokrasi dalam Pilkada 2024.
"Bukan sebaliknya, memberikan contoh, sikap, dan tauladan yang berdampak destruktif pada proses demokrasi yang sedang berjalan pada penyelenggaraan Pilkada 2024," tutur sarjana hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) itu.
"Hal itu penting untuk mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, yang dapat menyebabkan proses sirkulasi elit kekuasaan di masa depan dipenuhi konflik dan kekerasan," demikian Bram menambahkan.