Penulis dan penggagas genre puisi esai, Denny JA mengumumkan penghibahan dana abadi untuk memastikan keberlanjutan Festival Tahunan Puisi Esai hingga 50 tahun ke depan.
Langkah ini dilandasi keyakinannya akan pentingnya seni sebagai medium perubahan dan dokumentasi sosial.
“Seni bukan hanya cermin realitas, tetapi juga cahaya yang mengubahnya,” ujar Denny JA, mengutip filosofi yang menjadi inspirasinya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu, 20 November 2024.
Dana abadi tersebut berasal dari saham perusahaan yang sebagian dimiliki Denny JA Foundation.
Melalui pendanaan ini, festival itu diharapkan mampu menjadi panggung tetap bagi sastra, khususnya puisi esai, untuk terus berkembang dan menyuarakan isu-isu penting.
“Saya mencontoh dari kasus yang besar. Saya mengerjakan hal yang jauh, jauh, jauh lebih kecil, namun mengambil spiritnya,” ungkap Denny.
Ia menggarisbawahi paradoks dalam dunia sastra. Di satu sisi, penelitian menunjukkan bahwa membaca sastra meningkatkan empati dan kepedulian terhadap ketidakadilan.
“Namun, di sisi lain, komunitas sastra jangka panjang tidak dapat hidup dari hukum pasar saja. Seni membutuhkan subsidi; sastra membutuhkan uluran tangan yang memastikan panggungnya tetap ada,” jelasnya.
Ia terinspirasi dari tokoh-tokoh seperti Andrew Carnegie, Alfred Nobel, dan Ruth Lilly yang meninggalkan warisan besar untuk kemajuan seni dan literasi.
“Mereka adalah bukti bahwa seni membutuhkan tangan-tangan dermawan yang mengerti bahwa kebudayaan adalah harta abadi umat manusia,” ungkapnya lagi.
“Apa yang membuat puisi esai perlu terus dihidupkan, disebarkan, dan dirawat? Puisi esai adalah genre yang menyampaikan kisah nyata dalam bentuk puisi,” tambah dia.
Berbagai isu seperti hak asasi manusia, ketidakadilan, marginalisasi, dan identitas sosial menjadi inti setiap puisi. Namun, puisi ini tidak berhenti pada metafora, tapi mencatat fakta melalui catatan kaki, menghubungkan estetika dengan realitas.
“Catatan kaki di puisi esai menjadi elemen vital yang menjadikan puisi ini bukan hanya seni, tetapi juga dokumen sosial,” jelasnya lagi.
Sambung Denny, Festival Puisi Esai Jakarta menjadi lebih dari sekadar panggung seni dan ruang yang menjalankan banyak fungsi.
“Festival ini mempertemukan penulis puisi esai untuk berjumpa, berbagi pengalaman, dan menginspirasi satu sama lain. Tali silaturahmi antarpenulis diperkuat, memastikan keberlanjutan genre ini,” bebernya.
Ia mengungkapkan bahwa setiap isu-isu penting yang dihadapi masyarakat bakal menjadi bahan refleksi melalui puisi. Dari hak perempuan hingga perjuangan identitas minoritas, puisi esai memberi suara pada yang terpinggirkan.
“Festival ini juga menjadi ajang edukasi publik, mengajak masyarakat memahami persoalan sosial melalui seni. Ketika isu-isu serius disampaikan dengan keindahan puisi, masyarakat lebih mudah memahami dan tergerak untuk bertindak,” tutur dia.
Masih kata Denny, program tersebut adalah investasi bagi generasi mendatang dan memastikan bahwa panggung sastra terus ada serta memberi suara bagi yang tak terdengar.
“Dana abadi untuk Festival Puisi Esai bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga memastikan bahwa kisah-kisah tentang keadilan, keberanian, dan kemanusiaan terus hidup di masa depan,” tandasnya.