Suasana pabrik tekstil PT Sritex/Dok.Sritex.co.id
Rencana pemerintah untuk membantu menyelamatkan pabrik tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinilai akan melanggar konstitusi.
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan mengatakan bahwa berdasarkan undang-undang, pemerintah tidak memiliki hak untuk mengatur keuangan perusahaan swasta, apalagi jika ikut menalangi utang perseroan tersebut.
"Menurut UU Keuangan Negara, pemerintah atau negara tidak boleh ikut campur urusan keuangan perusahaan swasta, pemerintah tidak boleh membantu atau menalangi utang perusahaan swasta," katanya kepada
RMOL pada Senin 28 Oktober 2024.
Menurut Anthony, jika pemerintah memberi talangan utang swasta, maka upaya tersebut akan melanggar undang-undang, dan bisa dianggap sebagai penyimpangan APBN.
"Menambah keuangan BUMN sebagai penyertaan modal negara saja, pemerintah harus mendapat persetujuan DPR," jelasnya.
Untuk itu, Sritex seharusnya mengurus masalahnya sendiri dan memperbaiki manajemen perusahaan.
Adapun rencana pemerintah untuk menyelamatkan pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara ini mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto meminta kepada empat menteri untuk menyelamatkan pabrik yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang itu.
Menurut keterangan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Prabowo sudah memerintahkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, bersama dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera mengkaji beberapa opsi dan skema untuk menyelamatkan Sritex.
Belum diketahui apa langkah pemerintah untuk menyelamatkan industri tersebut. Namun, perseroan ini tercatat memiliki utang jumbo yang menumpuk sebesar 1,6 miliar Dolar AS (Rp25,01 triliun) yang terdiri dari utang jangka pendek dan utang jangka panjang, termasuk kepada 28 bank.