Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar/Istimewa
Soal pemberantasan korupsi yang disampaikan dengan berapi-api oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya, Minggu, 20 Oktober 2024, disambut antusias oleh publik. Penuntasan perkara rasuah yang mangkrak selama bertahun-tahun, bisa jadi ajang pembuktian komitmen Prabowo.
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyambut positif niat baik Prabowo. Dia mengingatkan, pemberantasan korupsi sejatinya sudah menjadi kewajiban kepala pemerintahan.
"Yang penting harus diimplementasikan pada program-program kerja pemerintahan, jika ada indikasi melakukan korupsi harus langsung diproses pidana," ujarnya di Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2024.
Ia pun mendorong Prabowo segera menuntaskan kasus korupsi yang sudah bertahun-tahun jalan di tempat tanpa ada kepastian penyelesaian. Salah satunya, kasus
payment gateway Kemenkumham, yang mangkrak hampir 10 tahun. Tersangkanya pun hingga kini masih melenggang bebas.
"Siapapun yang terbukti atau ada indikasi buktinya harus diproses hukum, terutama diprioritaskan untuk menghindari dan mengembalikan kerugian negara berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan," tegasnya.
Kasus
payment gateway Kemenkumham ini kembali mencuat usai mantan Wamenkumham Denny Indrayana, menyinggung status tersangka yang disandangnya akan genap berusia 10 tahun pada Februari 2025, di situs pribadinya.
Pada Maret 2023, Andi Syamsul Bahri, sang pelapor dugaan korupsi ini sempat mengeluhkan perkembangan kasus yang jalan di tempat. Hingga sekarang belum juga ada tanda-tanda kelanjutan dari perkara ini.
Abdul Fickar pun menyarankan kepada pihak yang merasa tidak puas dengan kondisi tersebut, untuk mengajukan gugatan praperadilan, agar kasus ini bisa kembali bergulir penanganannya.
"Bagi yang berkepentingan dan tidak puas silakan ajukan upaya hukum praperadilan," paparnya.
Penetapan Tersangka Sejak 2015Pada 2015, Denny Indrayana telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus dugaan korupsi
payment gateway. Kasus ini ditangani di era Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Denny dianggap berperan menginstruksikan rujukan dua vendor proyek
payment gateway.
Denny juga diduga memfasilitasi kedua vendor itu untuk mengoperasikan sistem tersebut. Dua vendor yang dimaksud adalah PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia
"Satu rekening dibuka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke Bendahara Negara. Ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke Bendahara Negara," ucap Kepala Divisi Humas Polri kala itu, Brigjen Anton Charliyan, pada Rabu 25 Maret 2015.
Penyidik pun memperkirakan dugaan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp32.093.692.000 (Rp32,09 miliar). Polisi juga menduga ada pungutan tidak sah sebesar Rp605 juta dari sistem tersebut.
Anton mengatakan, manuver Denny dalam kasus ini sebenarnya kurang disetujui oleh orang-orang di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Denny tetap bersikukuh agar program tersebut harus berjalan. Denny diduga kuat menyalahgunakan wewenang sebagai Wakil Menkumham dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik
Sementara itu, Kejaksaan Agung sudah buka suara soal kasus dugaan korupsi
payment gateway ini. Kasus yang mangkrak sejak 2015 itu rupanya masih mentok di tim penyidik Bareskrim Polri.
"Saya belum dapat info menghentikan (kasus
payment gateway)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung kala itu, Ketut Sumedana, pada Selasa 13 Juni 2023.
Namun pernyataan tersebut dibantah pelapor. Andi Syamsul Bahri mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima berkas sudah lengkap atau P-21. Dia heran kenapa perkara ini tidak masuk tahap persidangan.
"Bahwa perkara tersebut telah selesai diperiksa Bareskrim dan telah dianggap P-21 memenuhi syarat Penuntutan oleh Kejaksaan Agung," kata Andi Syamsul Bahri dalam surat permohonannya ke Kejaksaan Agung, Kamis 8 Juni 2023.