INI seperti sia-sia. Kasus Jessica Wongso inkrah, tenggelam delapan tahun, kini digunjing lagi. Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, ngotot, satu-satunya bukti hukum rekaman CCTV ternyata direkayasa. Baik resolusi video, maupun keberlanjutan (ada bagian dipotong). Dibalas ayah korban pembunuhan Mirna Salihin, Edi Darmawan Salihin: “Dasar, pengacara koplak.”
Perang hukum kasus ini bakal berlanjut. Bakal panjang. Terbukti, Otto sudah mengajukan PK (peninjauan kembali) ke dua. Dasar hukumnya, Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Putusan ini membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya dapat dilakukan sekali.
Pun pada 2016 sudah perang. Sangat riuh. Bersilat hukum. Selama delapan bulan. Sejak kematian Mirna di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta, 6 Februari 2016 sampai Jessica divonis hakim, 27 Oktober 2016. Jessica divonis hukuman 20 tahun penjara. Dia bebas 18 Agustus 2024 setelah menjalani delapan setengah tahun penjara. Jumlah sidang 32 kali.
Perang di 2016 diwarnai sogokan. Hal itu dikatakan Reza Indragiri, psikolog forensik dari UI, yang jadi saksi ahli di persidangan. Pernyataan Reza ini ada di dalam film dokumenter berjudul:
Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, produk Singapura, disutradarai Rob Sixsmith, beredar di Netflix, sejak 28 September 2023. Di situ Reza mengatakan, ia disogok segepok uang, tapi uangnya dikembalikan.
Pernyataan Reza di film itu dikonfirmasi wartawan, Selasa, 3 Oktober 2023, dan Reza membenarkan pernyataannya.
Reza ke wartawan: “Ada seorang menelepon saya, meminta saya berhenti bicara. Terus ia memasukkan uang ke dalam tas saya. Tapi saya kembalikan. Maka saya tafsirkan, itu merupakan cara agar saya tidak bicara dalam kasus ini.”
Dilanjut: “Kalau saya, yang tidak punya sangkut paut kasus ini, kenapa orang itu kasih saya uang? Saya khawatir, orang ini juga memberi uang ke otoritas penegak hukum, tentunya uang dalam jumlah lebih besar.”
Soal ini, ditanggapi Edi Darmawan di acara Indonesia Lawyers Club tayang di YouTube, Sabtu, 7 Oktober 2023.
Edi Darmawan: “Saya yang memberi uang ke Reza. Dalam amplop Rp 3 juta. Maksud saya, itu ongkos pulang ia ke Bogor, kasihan. Saya berikan diam-diam, saya selipkan ke tasnya.”
Diceritakan Edi, waktu itu ia diundang stasiun TV untuk bicara kasus pembunuhan Mirna. Ia hadir selaku ayah korban. Ternyata di studio TV tersebut ada Reza, juga diwawancarai host TV sebagai pakar forensik. Sebelum acara wawancara, mereka duduk di dalam suatu ruangan. Saat itulah mereka ngobrol.
Edi: “Ia saya tanya, tinggal di mana bang? Dijawab, di Bogor. Setelah ia sebutkan lokasinya, saya bilang bahwa saya punya teman rumahnya juga di situ. Terus, ia ke toilet. Nah, waktu ia ke toilet itulah saya selipkan amplop isi Rp3 juta. Mungkin bisa buat ongkos kereta atau taksi.”
Saat Reza keluar dari toilet menuju tempat duduknya, Edi tidak memberitahu Reza bahwa ia menyelipkan amplop. Reza juga tidak tahu tasnya diselipi amplop. Sampai mereka pulang.
Edi: “Beberapa hari kemudian, saya ditelepon orang KPK, ditanya: uang apa yang saya serahkan kepada Reza Indragiri, dan diserahkan Reza ke KPK ini? Kata Pak Reza, uang ini dari Anda? Benarkah?”
Dilanjut: “Waktu ditelepon KPK, saya kaget. Dasar, orang tak tahu diri. Tapi saya jawab ke KPK, benar saya menyelipkan amplop itu ke tasnya. Coba tolong dicek, jumlahnya Rp3 juta. Maksud saya buat ongkos pulang Reza ke Bogor. Itu bukan suap. Kalau suap Rp1 miliar atau lebih. Pembicaraan telepon selesai.”
Dilanjut: “Tak lama kemudian, saya ditelepon polisi kawan saya di Polsek Palmerah. Ia tanya: Pak Edi, ini ada bernama Pak Reza lapor, katanya ia diselipi amplop dari Anda? Uang apa ini Pak Edi? Saya ketawa… Rupanya, dari lapor ke KPK ditolak, terus ia disuruh lapor ke polisi. Maka, jawaban saya ke polisi juga sama dengan jawaban saya ke KPK.”
Kemudian, polisi kepada Edi mengatakan, bahwa Reza menyerahkan amplop berisi Rp3 juta itu ke polisi. Dan polisi bertanya ke Edi, bagaimana status uang ini? Edi menjawab: “Ya udah, buat Anda beli rokok aja.”
Disimpulkan, Rp3 juta itu bukan suap. Unsur suap, antara lain, ada kesepakatan bersama penyuap dan penerima. Untuk suatu tujuan yang disepakati bersama. Nilai suap harus dinilai sepadan antara risiko yang bakal ditanggung penerima dengan besaran uangnya.
Besaran uang bisa tawar-menawar. Uangnya harus diberikan penyuap ke penerima, sebelum pekerjaan untuk mencapai target dimulai. Kalau sesudah target tercapai, namanya tanda terima kasih, dan besarnya sesuka pemberi. Seperti uang tip dari tamu hotel kepada
bellboy yang mengangkat tas tamu menuju kamar.
Rp3 juta sebagai ongkos taksi Jakarta-Bogor, memang kebanyakan. Tapi jumlah itu sepadan dengan penghormatan terhadap pakar forensik. Dari pengusaha sukses sekelas Edi Darmawan.
Isu suap itu salah satu cabang dari perang hukum kasus ini. Perang utamanya di perkara pembunuhan Mirna. Hukuman sudah dijalani Jessica. Tapi dia tetap tidak terima, karena dia mengaku tidak membunuh Mirna.
Untuk itu, pengacara Otto mengajukan permohonan PK ke dua. Permohonan diserahkan Jessica bersama Otto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 9 Oktober 2024.
Otto kepada wartawan: "Alasan PK kami ada beberapa hal. Pertama, ada novum (bukti baru sebagai syarat PK). Novum kami berupa sebuah flashdisk, berisi rekaman video CCTV isinya kejadian ketika terjadinya tuduhan pembunuhan terhadap Mirna di Kafe Olivier. Video ini baru kami temukan. Selama ini sengaja disembunyikan seseorang sehingga rekaman ini tidak ditampilkan di persidangan, dulu.”
Dilanjut: “Kedua, ada kekhilafan hakim di dalam menangani perkara ini. Bukti-bukti hukumnya ada, kami lampirkan di sini.”
Dilanjut: “Seandainya, rekaman CCTV yang kami bawa ini ditampilkan di persidangan pada 2016, ceritanya bakal beda. Jessica bisa langsung dibebaskan dari terdakwa pembunuhan.”
Gawat. Jika pernyataan Otto itu benar, bisa gawat. Orang yang disebut sengaja menyembunyikan itu (tidak disebut identitasnya, sebab bakal jadi perkara) melanggar pidana berat. Kejam. Ini kasus pembunuhan. Mirna mati. Jessica sudah dihukum. Berarti orang itu menjerumuskan Jessica. Merusak keadilan.
Pernyataan Otto ini selaras dengan pernyataannya sebelumnya, bahwa rekaman CCTV kasus itu yang ditampilkan di persidangan, hasil rekayasa. Baik resolusi maupun keberlanjutan video. Atau ada bagian dari rekaman video yang hilang.
Perang sekarang di kasus ini bisa lebih seru dibanding perang pada 2016.
Di persidangan 2016, satu-satunya bukti hukum kasus ini cuma CCTV itu. Di CCTV juga tidak ada kejadian tangan Jessica memasukkan sesuatu (sianida) ke gelas kopi milik Mirna.
Delapan saksi pegawai Kafe Olivier sebagai saksi di persidangan, semuanya mengatakan, tidak melihat Jessica memasukkan sesuatu ke gelas itu. Gelas itu datang diantarkan oleh pramusaji ke meja nomor 54 (meja Jessica, Mirna dan Hanie), setelah diolah oleh barista di dapur kafe.
Keanehan lain, jenazah Mirna tak pernah diautopsi karena keluarga menolaknya. Tapi, karena dugaan keracunan, lambung jenazah diperiksa pakar forensik RS Abdi Waluyo, dr. Djaja Surya Atmadja. Perut jenazah dibedah oleh dr Djaja pada sekitar 70 menit pasca kematian Mirna.
Hasilnya: negatif sianida. dr Djaja: "Isi lambung, darahnya hitam. Ada tukak lambung, berupa borok. Ketemu monosit (sel darah putih yang melawan bakteri). Itu luka lama. Kronis berbulan-bulan.”
Terus, jenazah Mirna diformalin, karena akan dimakamkan tiga hari kemudian. Nah, menjelang pemakaman, lambung jenazah diperiksa dokter lain dari Polri, dr Slamet Purnomo. Ia mengambil sampel lambung, lalu dibawa ke laboratorium Mabes Polri. Hasilnya beda: Di lambung Mirna ada sianida 0,2 miligram per liter darah.
Di persidangan pula, dr Djaja yang ahli sianida mengatakan, bahwa di lambung Mirna negatif sianida pada 70 menit pasca kematian. Ia mengatakan, kalau dokter lain menyebut ada 0,2 miligram pada tiga hari pasca kematian, ia tak komentar. Tapi ditambahkan, manusia teracuni sianida dan mati, minimal terpapar 150 miligram per liter darah.
Perkara ini sangat heboh pada 2016. Sidangnya disiarkan langsung oleh banyak TV swasta, secara penuh sejak sidang dimulai sampai selesai. Akhir perkara seperti itu.
Kini, Jessica orang bebas. Banyak orang menyarankan Jessica, biarlah masa lalu berlalu. Kita nikmati hari ini, menyambut masa depan ceria. Tapi Jessica tidak mau. Dia keukeuh melawan, melalui PK. Mengapa?
Jessica ke wartawan: “Saya tidak bersalah. Kebenaran harus ditegakkan.”
Luar biasa. Padahal, Jessica sekarang gambling. Otto, pengacara papan atas Indonesia itu, juga gambling. Bertaruh. Mempertaruhkan reputasi mereka. Tapi buat mereka ini bukan gambling. Sebab gambling bersifat untung-untungan. Tidak pasti.
Bagi mereka, perlawanan ini upaya penegakan keadilan. Jelas tujuannya. Keadilan harus ditegakkan. Walaupun esok langit akan runtuh.
Penulis adalah Wartawan Senior