Korupsi pengadaan tanah di Rorotan, Jakarta yang dilakukan Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) tahun 2019-2020 diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp223,8 miliar.
Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu mengatakan, KPK telah menetapkan 5 orang sebagai tersangka dalam perkara ini.
"Terdapat kerugian negara atau daerah setidaknya sebesar Rp223.852.761.192 yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada tahun 2019-2021," kata Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu sore (18/9).
Kelima tersangka dimaksud, yakni Yoory Corneles Pinontoan (YCP) selaku Direktur Utama (Dirut) Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Indra S Arharrys (ISA) selaku Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Donald Sihombing (DNS) selaku Dirut PT Totalindo Eka Persada (TEP), Saut Irianto Rajagukguk (SIR) selaku Komisaris PT TEP, dan Eko Wardoyo (EKW) selaku Direktur Keuangan PT TEP.
Untuk tersangka Yoory, saat ini masih dalam penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin dalam kasus sebelumnya yang juga ditangani KPK.
Asep menjelaskan, PPSJ adalah sebuah BUMD Provinsi DKI Jakarta yang bergerak di bidang properti tanah dan bangunan. Salah satu kegiatan usahanya, mencari dan membeli tanah di wilayah Jakarta untuk dijadikan unit bisnis atau dijadikan bank tanah atau Land Bank.
"Bahwa salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada PPSJ adalah PT TEP yang bergerak di bidang jasa konstruksi pembangunan high rise building, antara lain apartemen, mall, dan kantor, serta kegiatan penjualan tanah," terang Asep.
Sekitar Februari 2019, kata Asep, PT TEP berencana membeli 6 bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan, Jakarta Utara dengan luas sekitar 11,7 hektare seharga Rp950 ribu per meter persegi yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi total Rp117 miliar.
Selanjutnya pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat tentang kerjasama pengelolaan lahan seluas 11,7 hektare yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara dengan harga penawaran Rp3,2 juta per meter persegi menggunakan skema Kerja Sama Operasional (KSO) pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dengan PPSJ.
"Hal ini kemudian direspon oleh saudara YCP dengan mengirimkan surat kepeminatan atas penawaran tanah tersebut," kata Asep.
Kemudian pada 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri tersangka Yoory dan tersangka Donald. Keduanya menyepakati besaran harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp3 juta per meter persegi. Saat itu, PPSJ belum menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT TEP.
"YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP yakni di bawah Rp2 juta per meter persegi. Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi telah disampaikan oleh Farouk M Arzby kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut," jelas Asep.
Selain itu kata Asep, tersangka Yoory bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk atau ditugaskan oleh penjual atau PT TEP.
Hal tersebut bertentangan dengan Pergub DKI 50/2019 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMD dan Pergub DKI 51/2019 tentang Penugasan kepada BUMD terkait Penyediaan Rumah untuk MBR.
Kemudian pada 6 Maret 2019, tersangka Yoory dan tersangka Donald melakukan penandatanganan perjanjian pendahuluan tentang perjanjian KSO proyek tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.
Dalam surat perjanjian tersebut, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas 6 bidang tanah seluas 11,7 hektare. Padahal kata Asep, pihak PT TEP mengetahui bahwa saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.
"Bahwa pada periode awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ," terang Asep.
Tersangka Yoory kata Asep, kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ.
Asep menerangkan, pembayaran uang muka tahap 1 KSO sebesar Rp20 miliar pada 6 Maret 2019, dan pelunasan tahap I sebesar Rp10 miliar pada 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pada akhir Maret 2019, tersangka Yoory dan tersangka Donald melakukan penandatanganan 6 Akta PPJB atas 6 bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP. PPSJ juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp150 miliar, walaupun saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.
Pada periode April-September 2019, PPSJ telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp201 miliar kepada PT TEP. Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 hektare dari PPSJ kepada PT TEP adalah Rp351 miliar.
Kemudian pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp14 miliar kepada PT TEP.
Dengan demikian, total uang pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 hektare yang terdiri dari 11,7 hektare luas awal ditambah 0,6 hektare penambahan luas pasca pengukuran ulang adalah Rp370 miliar.
Lalu pada 23 Februari 2021, baru dilakukan penandatanganan 6 AJB antara PT TEP dengan PPSJ untuk jual beli tanah Rorotan, Jakarta Utara dengan luas total 12,3 hektare.
Tersangka Yoory kata Asep, menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif, meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Selain itu kata Asep, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI 27/2009 tentang Pembangunan Rusuna.
Asep menjelaskan, penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan lahan Jalan Rorotan-Marunda seluas 11,7 hektare yang dilakukan tersangka Yoory tersebut diduga dipengaruhi dan terkait adanya penerimaan fasilitas dari PT TEP. Di mana, tersangka Yoory diduga menerima valas dalam denominasi dolar Singapura sebesar Rp3 miliar dari PT TEP.
Selain itu, tersangka Yoory juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT TEP. Di mana, pembelian aset tersangka Yoory berupa 1 rumah dan 1 unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi tersangka Eko, dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
"Nilai kerugian negara atau daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT TEP dari PPSJ sebesar Rp371.593.267.462 dikurangi harga transaksi riil PT TEP dengan pemilik tanah awal setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp147.740.506,270," pungkas Asep.