Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

AS Bisa Hadapi Konsekuensi Mengejutkan Usai Larang TikTok

SELASA, 17 SEPTEMBER 2024 | 14:23 WIB | LAPORAN: HANI FATUNNISA

Amerika Serikat merancang undang-undang yang memaksa Tiktok memilih untuk menjual perusahaanya ke Amerika atau dilarang sepenuhnya dari negara itu.

Aturan tersebut dibuat merespons kekhawatiran bahwa data pengguna AS yang dikumpulkan TikTok rentan dieksploitasi pemerintah Tiongkok.

TikTok milik perusahaan Tiongkok ByteDance berulang kali menegaskan bahwa mereka bekerja secara independen dan tidak memiliki kaitan dengan pemerintah di negara tersebut.


Tidak terima dengan adanya undang-undang tersebut, TikTok melancarkan gugatan di pengadilan Washington pada Senin (16/9).

Pengacara TikTok dan ByteDance, Andrew Pincus menyebut aturan itu secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak berbicara 170 pengguna aplikasi tersebut di AS.

"Undang-undang ini memberlakukan larangan berbicara yang luar biasa dengan risiko yang tidak bisa diprediksi di masa depan," ujarnya, seperti dimuat BBC.

Piscus juga menegaskan bahwa TikTok adalah milik ByteDance Limited, perusahaan induk di Kepulauan Cayman dan tidak bisa dimiliki oleh pihak asing.

Hakim Ginsberg membantah argumen Piscus dengan berpendapat bahwa undang-undang itu dibuat secara umum untuk meregulasi perusahaan asing di Amerika, bukan hanya TikTok.

Pengacara Departemen Kehakiman Daniel Tenny menentang pembelaan TikTok bahwa kode di balik platformnya berbasis di Amerika Serikat.

"Tidak ada perselisihan di sini bahwa mesin rekomendasi tersebut dikelola, dikembangkan, dan ditulis oleh ByteDance, bukan TikTok AS. Tetapi nyatanya itu bukan ekspresi orang Amerika di Amerika. Apa yang ditampilkan telah diatur programer Tiongkok di Tiongkok," tegasnya.

Selain masalah data, pejabat dan anggota parlemen telah menyatakan kekhawatiran atas prospek TikTok yang digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk menyebarkan propaganda kepada orang Amerika.

Namun, para pendukung hak kebebasan berbicara yang kuat di Amerika, menegakkan hukum pencabutan atau pelarangan media berarti mengikuti langkah rezim otoriter yang bertolak belakang dengan konstitusi negara tersebut.

Terlepas dari bagaimana pengadilan banding memutuskan, sebagian besar ahli sepakat bahwa kasus tersebut dapat berlarut-larut selama berbulan-bulan, atau bahkan lebih.

Gautam Hans, profesor klinis hukum di Cornell Law School, mengatakan upaya banding baru kemungkinan besar akan terjadi.

Sementara Mike Proulx, wakil presiden dan direktur penelitian di firma analisis Forrester kemungkinan kasus akan berlanjut ke pengadilan tertinggi AS, Mahkamah Agung.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya