Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang didukung oleh International Organization of Migration (IOM) melakukan pendampingan pada 7 Awak Kapal Perikanan (AKP) dalam Pemeriksaan Saksi dan Korban pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ke Bareskrim Polri, beberapa waktu lalu.
Pada April 2024, National Fishers Center Indonesia (NFC-I) menerima pengaduan dari 7 orang AKP yang merupakan bagian dari KM Mitra Usaha Semesta (MUS) yang kemudian dipindahkan ke kapal Run Zeng 03 yang merupakan kapal berbendera Rusia.
Mereka melaporkan insiden tragis yang membuat terpaksa melompat ke laut sebagai upaya melarikan diri dari kondisi kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian dan kondisi kerja yang tidak layak.
DFW Indonesia bersama-sama dengan SBMI dan didukung oleh IOM melakukan pendampingan ke para korban untuk memastikan bahwa para korban mendapatkan akses terhadap perlindungan, bantuan hukum dan reintegrasi sosial yang dibutuhkan oleh para korban.
Pada Senin, tanggal 24 Juni 2024, Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Bareskrim Polri telah menerbitkan laporan polisi terkait kasus ini, yang menandai langkah awal dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku TPPO dengan menerbitkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor: STTL/206/VI/2024/BARESKRIM dan melaporkan pihak-pihak yang diduga terlibat yaitu MOP, R, GW, AW, dkk.
Kasus TPPO ini per 22 Agustus 2024 telah menjalani pemeriksaan kedua, dimana pemeriksaan pertamanya telah dilaksanakan pada 30 Juli 2024.
Salah satu korban, MS (30) memaparkan terkait kondisi yang ia dan teman-temannya alami selama bekerja.
“Awalnya saya ditawari bekerja di kapal ikan dengan tawaran mendapatkan biaya bon 7 juta, upah perbulan 2 juta, THR 2 juta, dan uang premi 500 rupiah per kg sesuai hasil tangkapan. Namun setelah bekerja di atas kapal, hal yang dijanjikan tidak pernah diberikan, hanya sekali diberikan Rp500.000 saat masih di Pelabuhan Juwana sebelum berlayar,” kata MS dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (23/8).
“Di atas kapal, kami diberikan makan dan minum hanya saat selesai bekerja saja, dan lebih sering kami menampung air hujan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Pernah sekali, teman kami mengalami kecelakaan kerja; kepalanya luka karena tertimpa ikan kakap besar, namun hanya disiram dengan alkohol dan lukanya ditambal dengan bubuk kopi saja.” tambahnya.
Kondisi tersebut menurut DFW Indonesia sayangnya seringkali terjadi dalam berbagai aduan yang didapatkan oleh National Fishers Center (NFC) Indonesia.
"Kami sangat prihatin dengan kondisi yang dihadapi oleh para AKP di Kepulauan Aru. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap awak kapal perikanan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada AKP. Oleh karenanya, pemerintah harus segera membuat regulasi terkait tata kelola perekrutan dan penempatan kerja guna memberikan perlindungan bagi AKP lokal atau pun migran." ujar Public Interest Lawyer dari DFW Indonesia, Wildanu Syahril Guntur.
Adapun, Sekretaris Jenderal SBMI, Juwarih menyatakan bahwa penegakan hukum pada kasus TPPO yang didampingi SBMI selama ini hanya berfokus untuk menyasar pihak perekrut saja.
“Dalam pemantauan kami selama ini, penegakan hukum TPPO hanya menyasar perekrutnya saja, namun belum pada skala aktor-aktor utamanya. Harapan kami untuk kasus ini, pihak kepolisian juga serius untuk melakukan penyelidikan agar kasus ini tidak berakhir seperti kasus TPPO sebelum-sebelumnya,” ucap Juwarih.
“Juga kami berharap agar kasus ini tidak hanya menjadi sorotan sementara oleh media dan masyarakat secara luas, tetapi juga menjadi pemicu perubahan sistemik dalam perlindungan hak-hak buruh di kapal perikanan agar tidak rentan menjadi korban TPPO.” tuturnya
DFW Indonesia dan SBMI mendesak pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan serta memastikan perlindungan bagi awak kapal perikanan dalam bekerja di atas kapal perikanan.