DALAM konteks politik, jika ditelisik lebih jauh, kasus-kasus yang muncul di wilayah tambang negara-negara miskin dan berkembang sebenarnya adalah ekses dari sebuah konspirasi elite kapitalis dan elite politik penguasa. Lewat hubungan bilateral atau multilateral, ataupun langsung melalui berbagai macam korporasi multinasional kapitalis dan juga lembaga lembaga pendukungnya seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), World Trade Organization (WTO), dan lain-lain, mereka masuk merangsek ingin menguasai ekonomi negara miskin dan berkembang.
Mereka menjebak negara-negara miskin dan berkembang melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditas ekstraktif (tambang dan perkebunan monokultur), dan importasi untuk konsumsi.
Konspirasi Global
Utang dari lembaga-lembaga multilateral serta utang bilateral dari negara maju masuk dan dieskalasi saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Banyak contohnya, antara lain, krisis ekonomi tahun 1997, krisis tahun 2008, dan krisis ekonomi dampak pandemi Covid-19. Melalui “utang haram” yang penggunaannya dikomitmenkan untuk membangun proyek infrastruktur, negara-negara maju tak pelak banyak mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman.
Agenda dan kepentingan mereka yang lebih besar adalah “menjebak” negara-negara miskin dan berkembang agar arus fiskal negara-negara ini menjadi dan tetap bergantung pada utang. Seperti Indonesia saat ini, laju utang yang meningkat pesat pada era pemerintahan Jokowi membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung pada utang.
Utang haram itu dikomitmenkan untuk membangun sejumlah infrastruktur fisik, seperti jalan raya, bendungan, pembangkit listrik, bandar udara, pelabuhan laut, dan lain lain. Infrastruktur tersebut sebenarnya “berfungsi” sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditas ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit dengan memberikan beban berat secara fiskal kepada negara.
Selain regulasi yang cenderung berpihak pada kepentingan merek seperti misalnya, UU Ciptakerja yang dirancang, disusun dan disahkan secara inkonstitusional dan melawan tujuan masyarakat. Seluruh kandungan UU “sapu jagat“ itu sesungguhnya hanya untuk memperlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing terutama di sektor komoditi ekstraktif.
Bank-bank yang sebagian besar sahamnya dikuasai asing itu secara taktis juga diarahkan kerjanya untuk mendukung pembangunan infrastruktur fisik demi investasi di sektor komoditas ekstraktif dan perkebunan monokultur. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengorek keuntungan dengan mengendalikan harga komoditas ekstraktif tersebut di pasaran internasional secara oligopolistik.
Nilai tambahnya tak banyak yang kita terima. Perusahaan tambang dan perkebunan monokultur itu juga menyerobot dan merampas tanah rakyat di pelbagai daerah. Saat ini, sebagian besar atau 74 persen petani kita bekerja sebagai buruh tani. Sisanya adalah petani gurem yang hanya menguasai lahan sebesar 0,33 hektare.
Kasus konflik di daerah tambang dan perkebunan monokultur sesungguhnya adalah bagian dari problem simtomatik yang merupakan bagian dari ekses berkait kelindannya konspirasi antara mafia elite kapitalis dan negara imperialis yang mengeruk dan menguasai perekonomian Indonesia. Masalah itu tak hanya cukup direspons dengan penolakan saja, tetapi juga harus dilawan dengan menciptakan narasi tandingan.
Peluang Mengendalikan dan Memimpin Transformasi
Kita paham bahwa kebutuhan akan barang tambang memang sebuah keniscayaan bagi negara manapun. Sebut misalnya kebutuhan seperti tanah urugan, batu, pasir, mineral, logam, minyak, dan lain lain. Hal yang tak dapat dimungkiri adalah hidup tanpa barang dan hasil tambang sama sekali adalah utopia. Yang lebih penting adalah bagaimana sebaiknya usaha pertambangan “diperlakukan” secara bijak. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana menangani dampak yang selalu muncul, baik konflik dan residu sosial-ekonomi maupun kerusakan lingkungan.
Tata kelembagaan perusahaan tambang harus dikelola secara demokratis dengan komunitas atau masyarakat sebagai pengendali penuh dan tidak diserahkan kepada perusahaan yang semata berorientasi mengejar keuntungan. Semua dilakukan agar perekonomian tetap mampu menghadirkan keadilan. Jadi tambang basis komunitas berbasis masyarakat yang sedang diwacanakan harus ditawar dengan model kelembagaan demokratis yang dimiliki dan dikendalikan rakyat sendiri dan terutama oleh masyarakat di daerah tambang sebagai pemegang hak ulayat bukan oleh komunitas atau masyarakat di luar daerah tambang.
Sebuah komunitas, paguyuban atau kelompok masyarakat, tentu tidak dapat serta merta mengelola tambang. Sebab secara badan hukum memang peruntukanya bukan untuk bisnis. Apalagi entitas Ormas Keagamaan. Hanya dua jalur badan hukum bisnis yang dapat mengembangkan bisnis di Indonesia, kalau bukan Persero adalah Koperasi.
Badan hukum persero adalah model bisnis dengan orientasi mengejar keuntungan dan kuasa pemegang modal yang paling menentukan. Mereka, para pemilik perusahaan biasanya adalah orang yang berasal dari luar daerah tambang, bahkan investor asing. Untuk itulah, model kepemilikan dan pemberian izin tambang untuk Ormas, apapun itu bentuk ormasnya sebaiknya diarahkan dalam bentuk koperasi dengan model kepemilikan demokratis dari masyarakat setempat.
Badan hukum bisnis koperasi juga berkesesuaian dengan sifat dasar dari Ormas yang biasanya memiliki tata kelola organisasi demokratis. Badan hukum koperasi ini juga memungkinkan dimiliki jutaan orang secara terbuka dan bisa menjadi jaringan konglomerasi sosial yang besar. Koperasi ini juga cocok untuk mengelola tambang agar masyarakat tetap memiliki kendali atas aktivitas eksplorasi sumber daya alam di lingkunganya.
Pada hakikatnya, koperasi adalah perkumpulan orang. Menurut
International Cooperative Alliance (ICA), organisasi gerakan koperasi internasional, koperasi adalah “perkumpulan otonom dari orang orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan mereka dan aspirasi sosial-ekonomi dan budaya bersama melalui perusahaan yang dikelola dan diawasi secara demokratis. Dalam identitasnya sebagai badan usaha, koperasi kerap dibedakan dengan korporasi dalam hal penempatan dan “peran” modal material. Koperasi adalah sebuah perkumpulan berbasis orang (
people-based association).
Berbeda dengan korporasi yang merupakan perkumpulan modal (
capital-based association). Modal material dalam koperasi diperlakukan hanya sebagai alat bantu bukan penentu seperti dalam korporasi. Modal di koperasi adalah alat untuk mencapai kemanfaatan bersama bukan sebagai dasar untuk menentukan keputusan perusahaan seperti halnya dalam model Perseroan.
Dalam koperasi, manusia merupakan supreme, primus, atau yang utama di atas peran modal material. Untuk itulah kita kemudian mengenal istilah demokrasi dalam koperasi. Koperasi disebut sebagai bangun perusahaan yang demokratis karena setiap orang diberi jaminan hak suara yang sama. Berbeda dengan korporasi. Penguasa modal yang dominan atau pemilik saham mayoritas yang paling berhak menentukan keputusan perusahaan dan organisasi.
Badan hukum koperasi juga dapat menjamin konteks relasi sosialnya bersifat setara. Itu merupakan warisan para perintis organisasi modern pertama koperasi di Inggris yang menyebut diri sebagai persatuan masyarakat yang setara,
“the equitable society of Pionners of Rochdale”. Sebuah deklarasi kesetaraan manusia yang bukan sekadar “peluncuran” pendirian sebuah badan usaha.
Dalam konteks hukum, badan hukum koperasi memungkinkan untuk membawa misi dan aspirasi sosial sebagaimana yang juga dikerjakan oleh badan hukum perkumpulan maupun yayasan. Namun, koperasi memiliki kelebihan dibanding perkumpulan dan yayasan. Koperasi dapat melakukan aktivitas bisnis secara luas seperti halnya korporasi, sedangkan perkumpulan dan yayasan tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas bisnis.
Selama ini banyak komunitas ketika hendak mewujudkan misi dan menjalankan aktivitas menemukan sejumlah kendala pendanaan. Perkumpulan atau asosiasi biasanya hanya mengandalkan iuran anggota. Sementara itu, yayasan sangat bergantung pada donatur atau pendonor. Koperasi sebagai organisasi yang berwatak ganda, baik sebagai perkumpulan orang maupun perusahaan, memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara demokratis dan mandiri serta berkelanjutan. Dengan dasar ini maka tata kelola tambang diharapkan dapat dikelola secara bijaksana.
Pada intinya, tambang memang seharusnya dikelola oleh masyarakat dan dimiliki oleh mereka secara demokratis, dan pemerintah sebagai penjaga kepentingan publik adalah memastikan kepentingan semua pihak terjaga dengan baik. Tambang yang bijak tentu bukan hanya dikuasai konglomerat atau ormas keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah melainkan seluruh rakyat. Hal ini bisa dimulai misalnya dengan serahkan saham saham BUMN di bidang tambang ke masyarakat langsung melalui mekanisme inbreng (penyerahan).
Artikel ini kelanjutan dari Bagian I di link berikut:
https://rmol.id/publika/read/2024/08/01/630944/tambang-basis-komunitas-bagian-i&page=berita.input&field_asc_desc=&asc_desc=
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Penulis Buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme".