Kepemimpinan Kim Jong Un yang dianggap diktator di Korea Utara tidak mampu bertahan selama ini tanpa dukungan Amerika Serikat.
Analisa itu disampaikan oleh salah seorang pembelot Korea Utara yang masuk ke Korea Selatan pada tahun 2022, Jin Joo-dong melalui tulisannya berjudul "Kediktatoran Kim Jong-un yang Didukung oleh AS" yang dilihat redaksi pada Rabu (26/6).
Tulisan itu secara garis besar menjelaskan bagaimana rezim Kim melanggengkan kekuasaanya lewat kondisi dunia yang tidak stabil, salah satunya gejolak perang Rusia-Ukraina.
Ketika perang meletus 24 Februari 2022 lalu, seluruh dunia prihatin dengan eskalasi militer yang terjadi di Ukraina. Jin menyoroti sikap berbeda yang ditunjukkan Korea Utara, di mana mereka justru menyambut baik hal tersebut dan mulai merapat ke sisi Rusia.
"Setelah perang pecah, Korea Utara mulai secara aktif dan terang-terangan menjual senjata ke Rusia yang terisolasi," kata Jin.
Korea Utara bahkan menyalahkan Barat, khususnya AS atas perang yang terus berkelanjutan di Ukraina.
Pada 22 April lalu, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Im Chon-il mengecam AS karena memperpanjang perang demi keuntungan monopoli militer dan menggunakan Ukraina sebagai pion.
Im menggambarkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai boneka yang bisa dikendalikan oleh AS.
Menurut Jin, itulah mengapa Korea Utara akhirnya mendukung Rusia karena melihat pasokan senjata canggih AS ke Ukraina sebagai ancaman.
Pada 15 Oktober 2023, BBC melaporkan Korea Utara memasok sejumlah besar peralatan militer ke Rusia untuk digunakan dalam perang Ukraina.
Dalam laporan itu, Koordinator Komunikasi Strategis Dewan Keamanan Nasional, John Kirby menyebut Korea Utara telah memasok Rusia dengan 1.000 kontainer amunisi selama beberapa minggu terakhir.
Dikatakan bahwa pasokan diangkut dengan kapal dan kereta api ke depot perbekalan dekat Tikhoretsk, sekitar 290 kilometer dari perbatasan Ukraina.
Lebih lanjut Jin menganalisis keuntungan yang didapatkan Korea Utara dengan mendukung Rusia.
Jin menyebut perang seperti berkah bagi Kim Jong Un, karena dia akhirnya mendapat mitra terpercaya yang dapat membantunya menghindari sanksi PBB dan memperbaiki ekonomi nasional.
"Ini membuka prospek luas bagi Pyongyang memperoleh mata uang asing di luar negeri melalui berbagai cara seperti penjualan senjata dan ekspor tenaga kerja," jelasnya.
Keuntungan yang paling nyata dan baru-baru ini didapatkan Kim Jong Un dari Rusia adalah kendaraan mewah kelas atas dan antipeluru bernama Aurus.
Kim memperoleh kendaraan tersebut pada 18 Februari lalu dari rekan dekatnya Presiden Vladimir Putin. Menurut media Korea Selatan, mobil itu dijual di Rusia dengan harga 500 juta hingga 1,1 miliar won.
Setelah perang Ukraina, gelombang pekerja Korea Utara yang memasuki Rusia dengan kapal melalui pelabuhan Vladivostok semakin banyak.
Menurut sumber lokal di Khabarovsk, para pekerja Korea Utara yang saat ini memasuki Rusia melakukannya secara terbuka sebagai pekerja dan bukan dengan menyamar sebagai status pelajar.
"Putin dan Kim Jong-un bahwa secara aktif berkolusi untuk mencegah para pekerja Korea Utara di Rusia membelot dari negaranya," ungkap Jin.
Kembali pada isu utama tentang peran penting AS dalam menjaga legitimasi kediktatoran keluarga Kim di Korea Utara.
Jin mengatakan, Kim menjadikan tindakan politik dan militer AS sebagai alasan untuk meyakinkan rakyat Korea Utara.
Sejak zaman kakek Kim Jong-un, Kim Il-sung, keluarga Kim tak henti-hentinya mencuci otak warga Korea Utara dengan gagasan seperti “Warga Korea Utara dimiskinkan karena Amerika”, “Semenanjung Korea terpecah karena Amerika”.
"Mereka didorong untuk yakin bahwa Korea Utara dan penduduknya tidak dapat bertahan hidup tanpa kekuatan militer, senjata nuklir, dan rudal karena AS punya rencana menginvasi Pyongyang," papar Jin.
Dia menyebut Museum Sinchon di Provinsi Hwanghae Selatan, Korea Utara, sebagai bukti nyata dari upaya rezim Kim menanamkan kebencian terhadap AS.
Korea Utara mengklaim bahwa selama Perang Korea, dari 17 Oktober hingga 7 Desember 1950, pasukan AS yang ditempatkan di Kabupaten Sinchon, Provinsi Hwanghae Selatan, membantai sekitar 30.000 penduduk.
Di antara korban tewas, 16.234 di antaranya disebut merupakan anak-anak, orang lanjut usia, dan perempuan.
"Museum ini penuh dengan cerita dan ilustrasi yang mengerikan. Museum ini dibangun dengan tujuan agar warga tidak melupakan peristiwa tersebut," kata Jin.