Berita

Presiden ke-6 RI yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto/Ist

Publika

In Prabowo We Trust dan Nasib Bangsa ke Depan

KAMIS, 28 MARET 2024 | 15:08 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

SUSILO Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, menyebutkan "In Bapak Prabowo, We Trust". Semboyan ini telah mensejajarkan Tuhan dengan Prabowo. Oleh karena semboyan aslinya adalah "In God We Trust", sebuah semboyan yang dimiliki Amerika sejak seabad lalu.

Wikipedia (https://en.m.wikipedia.org/wiki/In_God_We_Trust) menuliskan bahwa 90 persen masyarakat Amerika Serikat, merujuk jejak pendapat Gallup, CNN dan USA Today, 2003, menyetujui penggunaan coin atau uang mereka dengan semboyan "In God We Trust" tersebut. Sebelum tahun 1959, Wiki mencatat bahwa semboyan Amerika
adalah "E pluribus unum" (Out of many, one) dengan lambang Burung Elang, yang mungkin mirip-mirip Bhinneka Tunggal Ika dan Burung Garuda di Indonesia.


Hal di atas menunjukkan pengakuan rakyat Amerika bahwa mereka telah dipersatukan Tuhan, sebagai sumber moral, bukan burung apalagi manusia. Pesan Trust atau kepercayaan rakyat disana, sebagai sebuah bangsa bertumpu pada moralitas, dalam hal ini merujuk agama mereka.

Kepercayaan atau "trust" sebagai rujukan dan perekat sebuah society atau bangsa memang dapat disematkan kepada sosok atau individual.

Dalam sejarah kenabian, maupun suku-suku pedalaman, telah diperlihatkan bahwa nilai-nilai yang dianut maupun dirujuk masyarakat bersumber pada pemimpin mereka. Di sisi lain, rujukan itu dapat juga berupa ajaran, baik agama, ideologi maupun tradisi yang turun temurun.

Ajaran-ajaran Jawa, misalnya, Tut Wuri Handayani, Sugi Tanpa Bondo, Tepo Seliro, dll, merupakan ajaran turun temurun alias tradisi, yang tidak merujuk pada sosok.

Dalam ajaran Marxisme, misalnya lagi, tidak dikenal dominasi antara manusia. Mereka mengenal determinisme masyarakat, di mana peran individual hanyalah konsekuensi derivatif dari komunal.

Penempatan sosok Prabowo selevel dengan Tuhan dalam pandangan SBY cukup menarik untuk dikaji. Pertama, klaim SBY bahwa dari perjalannya ke belasan kabupaten, rakyat mencintai Prabowo. Lalu apakah mencintai itu berarti menempatkan Prabowo selevel dengan Tuhan?

Kedua, SBY mengingatkan kita agar jangan menyakiti rakyat yang ingin Prabowo memimpin bangsa kita. Apakah dengan demikian Prabowo bisa selevel dengan Tuhan?

Pengkultusan manusia yang dilakukan SBY terhadap Prabowo saat ini akan berpotensi pada 3 hal: pertama, pengkultusan adalah penyakit anti demokrasi.

Sebagai bapak demokrasi di era lalu, harusnya SBY tidak memberi kesan pengkultusan individual. SBY harus konsisten bahwa manusia hanyalah makhluk Tuhan saja yang bisa dikritik.

Kedua, SBY berpotensi mengecilkan makna protes rakyat yang mengutuk pemilu curang. Protes sosial atas pemilu curang, saat ini, bukanlah kasus biasa. Perasaan rakyat yang terluka saat ini sudah menganga terlalu besar. Saat ini memang kekecewaan rakyat lebih tertuju pada Jokowi, tapi sebagai kaum demokrat, harusnya SBY membuka ruang dialog bahwa kecurangan itu juga dinikmati oleh Prabowo.

Ketiga, SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya mem back up total Prabowo sebagai manusia selevel Tuhan. Hal ini menunjukkan adanya kesan "jilat menjilat" dalam politik bagi-bagi kekuasaan. Sebuah penurunan makna kekuasaan untuk rakyat.

Luka Rakyat dan Perubahan

Kemenangan Prabowo dengan proses pilpres curang saat ini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Tapi, apapun hasilnya, luka rakyat atas kecurangan itu bukan masalah kuantitatif yang bisa dihitung sebagai residu. Kemarahan rakyat telah bergelombang besar, khususnya dari kalangan kampus, sebagai pusat moral bangsa kita.

Dalam kondisi "power to power conflict" atau keterbelahan rakyat saat ini, SBY meyakini, dalam pidatonya kemarin, bahwa Prabowo adalah pemimpin besar selevel Tuhan yang mampu membawa perbaikan. Perbaikan itu termasuk membuat pemilu yang bersih ke depan.

Namun, SBY tidak menyinggung bahwa ada luka saat ini di hati rakyat. SBY juga tidak menyinggung bagaimana bisa membuat pemilu bersih dari kepemimpinan pemilu curang?

Padahal, dalam teori rekonsiliasi konflik, di mana SBY terlibat dalam penyelesaian konflik Ambon, Aceh, Poso dan lainnya di masa lalu, penyelesaian sebuah konflik sosial harus dimulai dengan sebuah pengakuan adanya rakyat terluka. Adanya kecurangan dan manipulasi pilpres. Bukan sok menang sendiri. Sok menang sendiri atau merasa paling benar, bahkan hanya akan memendam dendam yang berkepanjangan.

Kita tentu tidak bisa berharap pada Jokowi dan rezimnya dalam mengobati luka rakyat. Namun, jika rezim ke depan juga memelihara luka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pergolakan rakyat akan terus berlangsung. Inilah kesalahan terbesar SBY yang tidak membuka ruang refleksi dan dialog.

Seandainya kekuasaan berpindah secara "paksa" dari Jokowi kepada Prabowo ke depan, dengan model kepemimpinan angkuh yang sama, maka rakyat harus mencari jalannya sendiri. Pengorganisasian rakyat dalam tema-tema perubahan harus terus dilanjutkan oleh kalangan masyarakat sipil , baik kalangan kampus, buruh maupun keagamaan.

Penggalangan dan pengorganisasian rakyat inilah satu-satunya jalan untuk mengimbagi kekuatan dan kekuasaan yang menindas ke depan. Harus ditanamkan dalam diri rakyat bahwa rezim ke depan adalah rezim curang, tanpa moral.

Penutup

SBY telah menyematkan semboyan "In Prabowo We Trust". Merujuk semboyan aslinya, "In God We Trust", SBY berusaha mengkultuskan Prabowo dan bahkan sejajar Tuhan.

Rakyat harus terus berjuang mengorganisir dirinya membangun kekuatan alternatif. Sebab, era ke depan situasinya mungkin sama buruknya dengan era Jokowi  di mana kekuasaan adalah Tuhan.

Mari kita terus berjuang.

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya