Sebanyak 78 orang pegawai Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan sanksi berat berupa permohonan maaf secara terbuka dan langsung karena terbukti menerima uang pungutan liar (pungli). Sedangkan 12 orang lainnya diserahkan kepada Sekretariat Jenderal (Sekjen) untuk dilakukan proses disiplin.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, hari ini, Kamis (15/2), pihaknya telah membacakan putusan sidang etik dugaan pelanggaran etik terkait pungli di Rutan KPK.
Keseluruhan pegawai yang disidangkan, kata Tumpak, sebanyak 90 orang yang dibagi dalam 6 berkas perkara.
"Mengenai putusan yang berhubungan dengan pemberian sanksi berat ada berjumlah 78 terperiksa, 12 orang lainnya adalah keputusannya menyerahkan kepada Sekretariat Jenderal KPK, untuk dilakukan penyelesaian selanjutnya," kata Tumpak kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jalan HR Rasuna Said Kav C1, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (15/2).
Tumpak menjelaskan, untuk 12 orang yang diserahkan kepada Sekjen KPK atau Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), dikarenakan melakukan perbuatan sebelum adanya Dewas KPK.
Semua terperiksa itu, lanjut Tumpak, dikenakan pelanggaran Pasal 4 Ayat 2 huruf b Peraturan Dewas 3/2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.
"Apa itu? yaitu perbuatan menyalahgunakan kewenangan, jabatan dan atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan komisi dalam pelaksanaan tugas untuk kepentingan pribadi. Jadi dalam pelaksanaan tugasnya selaku petugas tahanan, dia mendapatkan suatu keuntungan pribadi, berupa uang," pungkas Tumpak.
Adapun para pihak yang telah dijatuhi putusan, di kloter pertama ada 12 orang. Yaitu Deden Rochendi, Agung Nugroho, Hijrial Akbar, Candra, Ahmad Arif, Ari Teguh Wibowo, Dri Agung S Sumadri, Andi Mardiansyah, Eko Wisnu Oktario, Farhan Bin Zabidi, Burhanudin, dan Muhammad Ramdhan.
Di kloter kedua ada 13 orang. Yakni Muhammad Abduh, Suharlan, Gian Javier Fajrin, Syarifudin, Wardoyo, Gusnur Wahid, Firdaus Fauzi, Ismail Chandraz, Ari Rahman Hakim, Zainuri, Dian Ari Harnanto, dan Rohimah.
Kemudian di kloter ketiga ada 11 orang, yakni Muhammad Ridwan, Ramadhan Ubaidillah, Ricky Rachmawanto, Tarmedi Iskandar, Asep Anzar, Ikhsanudin, Maranatha, Eko Tri Sumanto, Mahdi Aris, Muhammad Faeshol Amarudin, dan Sopyan.
Lalu di kloter keempat ada 20 orang, yakni Dharma Ciptaningtyas, Asep Saipudin, Teguh Ariyanto, Suchaeri, Natsir, Moehamad Febri Usmiyanto, Masruri, Muhamad Sekhudin, Adryan Gusti Saputra, Muhammad Faeshol Amarudin, Fandi Achmad, Afyudin, Turitno, Restu Maulana Malik, Jepi Asmanto, Rahmat Kurniawan, Martua Pandapotan Purba, Iin Iriyani, Kinsun Kase, dan Hairul Ambia.
Selanjutnya di kloter kelima ada 18 orang, yakni Fika Iskandar, Korip, Amirulloh, Ari Kuswanto, Harun Al Rasyid, Andi Prasetyo Pranowo, Dena Randi, Nurdiansyah, M. Denny Arief Hidayatullah, Mochamad Yusup, M Gustomi, Didik Harmadi, Muhamad Yusup, Andi Makkasompa, M Fuad, Mekel Jaya Prasetia, Agung Sugiarto, dan Diabtara.
Kemudian di kloter keenam ada 16 orang, yakni Sutrisno, Dedi Darmadi, Indra, Irawan, Ujang Supena, Agus Afiyanto, Bambang Agus Suhardiman, Budi Handoko, Dede Rahmat, Fauzan, Handriyan, Muhammad Ardian, Novian Surya Perdana, Subandi, Sutriyono Widodo, dan Rizky Andreansyah.
Para terperiksa terbukti menerima uang bulanan dari para tahanan KPK agar bisa memasukkan telepon seluler, barang/makanan, dan lainnya ke dalam tahanan sejak 2018-2023. Uang yang diterima paling sedikit Rp2 juta, dan paling banyak Rp425,5 juta.
Para terperiksa menerima uang bulanan sebagai biaya "tutup mata" agar membiarkan tahanan menggunakan ponsel. Para terperiksa rata-rata menerima uang Rp3 juta setiap bulannya.
Uang tersebut dikumpulkan melalui korting atau tahanan yang "dituakan", untuk selanjutnya diberikan kepada petugas Rutan KPK yang ditunjuk sebagai "lurah" yang mempunyai tugas untuk mengambil uang bulanan dari korting atau orang kepercayaan/keluarga, dan kemudian membagikannya kepada para terperiksa.