Ketua Harian Porinti Semarang, Yoga Pangemanan (tiga dari kanan) dan Ketua perkumpulan Minnan Gong Hui, Hasan Arifin (dua dari kanan), saat menikmati gelaran tok panjang Pasar Imlek Semawis di Gang Waroeng Pecinan Semarang, yang diadakan oleh Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Kamis malam (8/2)/RMOL Jateng
Ratusan warga berkumpul dan menikmati bersama hidangan Imlek yang tersaji di atas tok panjang, di arena Pasar Imlek Semawis, di Gang Warung Pecinan Semarang, Kamis malam (8/2).
Tok panjang yang berarti meja panjang, merupakan tradisi kuno Tionghoa Semarang untuk makan bersama saat merayakan tahun baru Imlek.
Menariknya, kegiatan tok panjang di arena Pasar Imlek Semawis ini tak hanya diikuti warga Tionghoa saja, namun multietnis. Ada Jawa dan keturunan Arab.
Mereka hadir atas undangan Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) selaku penyelenggara Pasar Imlek Semawis.
"Gelaran jamuan tok panjang ini menandai Pasar Imlek Semawis yang pada tahun ini diadakan sangat sederhana, di Gang Warung, bersamaan dengan kuliner Waroeng Semawis," kata Ketua Kopi Semawis, Harjanto Halim, dikutip
Kantor Berita RMOLJateng, Kamis (8/2).
Sementara, Ketua Harian Perserikatan Organisasi Indonesia Tionghoa (Porinti) Semarang, Yoga Pangemanan, mengapresiasi gelaran tok panjang Imlek ini. Membuktikan Kota Semarang adalah kota nomor 5 paling toleran di Indonesia.
"Kota Semarang adalah kota paling toleran kelima di Indonesia setelah Singkawang, Bekasi, Manado, dan Salatiga. Porinti Semarang yang terdiri dari gabungan delapan organisasi Tionghoa tentunya merasa bangga bahwa kehidupan di Semarang begitu tenteram tidak ada gejolak berarti, malah tidak ada gejolak sama sekali. Aman aman saja," kata Yoga Pangemanan.
"Kita doakan agar ini bisa berjalan seterusnya," sambungnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkot Semarang, Wong Wiyarso Poespojoedho, yang hadir mewakili Walikota Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, Kota Semarang menjadi bukti bahwa toleransi dan akulturasi berjalan harmonis.