Gimmick Demokrasi
PERSAINGAN menjelang pesta demokrasi 5 tahun sekali ini tak dapat dihindari. Demi meraup suara, segala cara dilakukan. Mulai dari strategi kampanye, membayar buzzer, hingga jualan hasil survei sebagai trik rahasia umum.
Menghitung hari menuju pemilihan, aksi para calon tak ayal menggelitik jagat publik, dari joget-joget,
gimmick slepet, hingga sindir sana-sini semakin memberikan warna polarisasi masyarakat.
Demokrasi meski terkesan sebagai sistem sekaligus alat meraih kekuasaan ala modern, namun realitanya suara mayoritas menjadi modal segalanya dalam memenangkan kontestasi politik. Siapa pun yang dapat menggerakkan suara mayoritas, maka dialah pemenangnya.
Tiap calon boleh beradu gagasan, baik dalam ajang debat yang diadakan oleh KPU maupun dalam undangan-undangan diskusi publik oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi raihan suara terbanyaklah yang nanti akan menjadi pemenang.
Baik cakap gagasan, maupun yang kosong tak berkualitas, baik sang pemilih merupakan orang berpendidikan ataupun artis sekalipun, maupun orang yang tak berpendidikan hingga tak bisa baca tulis.
Semua dinilai sama, masing-masing hanya dinilai satu suara. Tidak bisa satu orang karena dianggap bijak lantas dapat mewakili ribuan suara orang-orang. Itulah kenyataannya dalam Demokrasi.
Debat antarcalon di ruang publik bak tontonan komedi, kontestasi
gimmick para dagelan politik dipersembahkan kepada rakyat yang padahal nantinya akan mereka pimpin. Ironisnya, debat ini adalah jalan paling rasional untuk menilai seberapa siap mereka memimpin dari kontes adu gagasan.
Alih-alih memikat hati, adu
gimmick, sindir hingga emosi meledak-ledak dipamerkan di depan jutaan mata menonton. Seolah persaingan mereka tak habis-habisnya, padahal setelah terpilih salah satu paslon, pilihan koalisi bersama istana tampak lebih menggiurkan bagi mereka.
Gimmick permusuhan dan perselisihan antara satu paslon dengan paslon lainnya sedikit demi sedikit tak ayal mengundang jemu masyarakat. Faktanya, banyak yang sudah lupa soal 5 tahun lalu tentang panasnya kontestasi politik hingga pembelahan namun tetap saja menghasilkan solusi koalisi bergabung istana, seolah tak ada yang kalah dalam pesta demokrasi, hanya beda ukuran potongan kue saja.
Tak peduli berapa korban jiwa gugur demi mendukung sang calon, janji timbul tenggelam hanya
gimmick demokrasi untuk menyelamatkan namanya agar tetap dikenang meski kekalahan pahit ia telan. Nyatanya, kontestasi politik ini juga termasuk
gimmick yang akhirnya akan hanya berujung pada kesengsaraan rakyat kecil dan bersatunya para penguasa zalim.
Politisasi AgamaSuara mayoritas sangat menggiurkan, tentu saja menjadi incaran para politisi menjelang kontestasi politik. Sudah tak aneh politisi berbondong-bondong berpakaian khas agama atau mendadak ustadz mengadakan pengajian dan doa bersama hingga santunan yatim piatu kala menjelang pemungutan suara.
Agama yang seharusnya menjadi instrumen berpolitik sebagai jalan khidmat pada perintah dan larangan sang pencipta, dalam demokrasi agama justru menjadi modal praktis seseorang untuk mendapatkan simpati dari masyarakat yang cenderung agamis dan teosentris.
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar masyarakatnya cenderung agamis. Di samping itu, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar dengan jumlah sekitar 240 juta jiwa per 2023 membuktikan bahwa agama adalah cara paling efektif sebagai pendekatan meraih kepercayaan dan simpati masyarakat.
Mulailah para calon berlomba-lomba menjadi sosok paling agamis atau toleran. Alih-alih menjadi acuan, ritual agama justru menjadi alat simpati masyarakat. Mulai tampil sang calon A di tayangan adzan salah satu stasiun televisi, atau hadir pula si calon B mengenakan pakaian khas agama tertentu, mulai pula calon C mendatangi panti asuhan dengan dalih berderma.
Tentu saja, cara ini menggiurkan bagi kontestan untuk dicoba meski sudah terlihat klasik, Indonesia masih saja sebagai negara dengan aliran kharismatik yang tinggi. Lewat dalil mengikuti langkah guru agama atau ulama tertentu, tak segan sang calon mendekati ulama atau guru agama yang dianggap tokoh oleh masyarakat dengan pengikut ribuan bahkan jutaan. Tak heran cara ini dinilai efektif, jika pengikut tokoh agama tersebut akhirnya memilih berdasarkan pilihan tokoh yang ia ikuti.
Suara Masyarakat Berpendidikan Rendah jadi IncaranMasyarakat Indonesia memang tak semuanya mendapat kesempatan mengenyam pendidikan., bahkan sebagian besar masih dalam kategori berpendidikan rendah. Hal ini mengakibatkan pola pikir yang cenderung konservatif dan tradisional, yang akhirnya mengenyampingkan beberapa kualifikasi pemimpin yang kelak akan dipilihnya.
Umumnya seorang pemilih berpendidikan tinggi akan mempertimbangkan pilihannya dengan sangat detail, bahkan seringkali melakukan riset secara mandiri agar tidak termakan hoaks. Setidaknya masyarakat dengan pendidikan S1 atau yang sedang menempuh S1 tak habis ruang, untuk berdiskusi tentang perkembangan politik menjelang kontestasi.
Akan tetapi berbeda pada golongan masyarakat berpendidikan rendah, mereka cenderung mudah terpengaruh oleh beberapa trik kecurangan sang calon seperti sogokan sembako, amplop ataupun praktik
money politic lainnya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh hoaks dan mudah simpati pada sesuatu yang viral atau sekadar terpikat melalui janji-janji kampanye.
Namun, ada saja kontestan menggunakan strategi pendekatan dengan masyarakat berpendidikan rendah karena diperhitungkan sebagai mayoritas penyumbang suara. Hal ini tentu sah-sah saja dalam demokrasi. Sebab demokrasi tidak menilai suara dari 'siapa si penyumbang suara', tapi semua dinilai sama. Apakah seseorang yang memilih ini pakar politik, tokoh agama, atau mungkin ODGJ semua dinilai sama di mata demokrasi.
Tak peduli jika paslon tertentu menang dengan penyumbang suara terbanyak dari masyarakat berpendidikan rendah, nilai kemenangannya tidak akan berkurang. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh paslon atau calon untuk meraih suara 'mayoritas'.
Cara pendekatannya pun lebih mudah, dengan sogokan atau tawaran dan janji-janji manis mereka mudah percaya. Bahkan mereka mudah terpengaruh dengan hoaks dan hubungan ketokohan.
Tinggal ambil saja kepala dari masyarakat tersebut, biarkan kepalanya yang akan mengarahkan agar pengikutnya dapat memilih calon tertentu.
Tabiat demokrasi memang tak perlu diragukan, selain konstitusi bisa diubah sesuai mau si penguasa dan kepentingan oligarki, suara rakyat juga dinilai sama yang akhirnya mengakibatkan polarisasi menjelang pesta demokrasi.
Tak sedikit masyarakat dilibatkan dalam pembelahan dan polarisasi yang akhirnya dapat menimbulkan konflik antarpendukung. Bukan saja kerugian yang akan membayangi, tapi juga ancaman korban jiwa ikut menghantui setiap menjelang pesta demokrasi.
Jika siklus pesta demokrasi yang kelam dan penuh intrik kejahatan penguasa, mungkinkah demokrasi dapat membawa perubahan yang hakiki?
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta