Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin/RMOL
Sikap pasif Komisi Pemilihan Umum (KPU) menanggapi putusan Mahkamah Agung, terkait aturan keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, dinilai sebagai bentuk intervensi politik.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin mengatakan, gugatan pihaknya yang diterima MA seharusnya bisa segera diubah KPU.
"Putusan MA sama seperti putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Jadi harus dilaksanakan," ujar Usep kepada wartawan, Kamis (14/9).
Dia menjelaskan, dalam UU Pemilu turut diatur mengenai keharusan penyelenggara mensyaratkan pemenuhan 30 persen keterwakilan bacaleg perempuan.
"Jelas di UU Pemilu, bahwa pencalonan perempuan DPR maupun DPRD itu minimal 30 persen. Ada kata minimal di situnya," sambungnya menegaskan.
Karena itulah Usep memandang keterangan yang disampaikan KPU justru seperti menafikan aturan di dalam UU Pemilu tersebut. Lantaran menerapkan penghitungan pembulatan ke bawah, berbeda dengan Pemilu 2019 yang mempraktikan penghitungan pembulatan ke atas.
"Ini enggak kayak yang rekrutmen anggota penyelenggara, yang kalimatnya memperhatikan. Kalau pencalonan DPR, DPRD, itu kalimatnya adalah minimal 30 persen. Jadi saat dibulatkan ke bawah justru itu melanggar UU," tuturnya.
Usep pun menilai, penerapan skema penghitungan pembulatan ke bawah berpotensi mengurangi jumlah bacaleg perempuan. Karena jika dihitung hasilnya di bawah desimal koma lima, misalkan 1,2 maka bacaleg perempuan yang bisa duduk di parlemen hanya 1 orang.
Oleh karena itu, Usep menyimpulkan metode penghitungan bilangan desimal ke bawah yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10/2023 merupakan produk hukum yang tidak independen, melainkan ada ikut campur pihak di luar KPU.
"Ya ketika Komisi II (DPR RI) bertemu KPU lalu menghasilkan PKPU yang tidak memenuhi pencalonan 30 persen perempuan, itu sudah bentuk dari intervensi, dan KPU sudah terkena intervensi itu," bebernya.
"Jadi, ada kemandirian dan netralitas yang dicederai. Tidak mandiri, karena diintervensi oleh pihak di luar KPU. Tidak netral, karena DPR ada bagian dari fraksi parpol yang mana partai politiknya menjadi peserta pemilu gitu," demikian Usep.