Perkebunan sawit di Indonesia/Net
Industri kelapa sawit sebagai salah satu penyokong terbesar nilai ekspor dalam negeri masih menyisakan tantangan, khususnya bagi petani dengan lahan kurang dari 4 hektare.
Para petani kerap menghadapi kendala, seperti produktivitas yang rendah dan isu lingkungan.
Ketua Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Dono Boestami memaparkan hasil analisis Yayasan Penelitian Inovasi Bumi (Inobu, profil petani sawit dengan lahan kurang dari 4 hektare sudah menekuni usahanya sekitar 10 tahun.
Meski menopang kehidupan sehari-hari, produktivitas kebun petani sawit ini masih rendah, yakni pada kisaran 2-3 ton per hektare per tahun.
Hal ini jauh berbeda dengan produksi perkebunan swasta yang mencapai 5-6 ton per hektare per tahun.
"Persoalan utama adalah usia pohon sudah tua, rata-rata di atas 25 tahun. Di sisi lain, perkebunan rakyat cenderung menggunakan benih kualitas kurang baik dan belum menerapkan prinsip pertanian yang baik," kata Dono dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/9).
Rendahnya produktivitas kebun, kata dia, jelas berpengaruh terhadap pendapatan petani yang akhirnya berujung pada tingkat kesejahteraan keluarga.
"Untuk meningkatkan pendapatan petani, terdapat risiko para petani melakukan perluasan kebun dengan melakukan
land clearing secara ilegal. Imbasnya terjadi perubahan fungsi lahan dan hutan secara tidak terkendali,” jelas Dono.
Melihat fakta di lapangan, Dono menilai pentingnya intervensi pemerintah terhadap petani sawit. Salah satunya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2017.
Program ini bertujuan untuk meremajakan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani kecil, guna meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan.
"Program PSR inisiatif Presiden Jokowi dengan tujuan sederhana namun dalam, yaitu meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit milik petani kecil melalui peremajaan pohon," lanjutnya.
Untuk mencapai tujuan ini, program PSR dibangun di atas empat pilar utama, yakni legalitas kepemilikan lahan, keberlanjutan, sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), serta peningkatan produktivitas.
“Pendekatan perbaikan produktivitas melalui peremajaan juga dipandang cukup efektif sebagai strategi pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia,” imbuhnya.
Namun tidak dipungkiri, pelaksanaan program PSR menghadapi beberapa tantangan dalam praktiknya, salah satunya berkaitan pencapaian target.
Selama periode tahun 2016 hingga 2022, jelas Dono, realisasi subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk PSR mencapai jumlah yang signifikan, yaitu Rp7,5 triliun.
"Dari alokasi dana subsidi tersebut, sejumlah rekomendasi teknis untuk program PSR sebanyak 278 ribu hektare telah dihasilkan, namun realisasi lapangan baru mencakup 2.73 ribu hektare,” tutupnya.