Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kornas PB PMII)/Ist
Ada banyak kerawanan pelanggaran pemilu yang berpotensi terjadi pesta demokrasi 2024, mulai dari politik uang, politisasi SARA hingga netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Diungkap Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Hasnu Ibrahim, setidaknya ada 7 kerawanan pemilu yang harus diantisipasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Modus politik uang dalam pemilu telah beralih dari skema konvensional ke
platform digital, belum lagi kemudian adanya uang elektronik yang proses transaksinya hanya menggunakan nomor handphone," ujar Hasnu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/8).
Kerawanan kedua yang cukup tinggi terjadi di masa kampanye, adalah bahaya politisasi kebijakan oleh parpol melalui wakil publik, baik di eksekutif maupun di legislatif.
"Terutama mereka sebagai
incumbent yang akan bertarung pada Pemilu 2024, cenderung memainkan strategi politik kartel dan strategi klientelisme lewat sejumlah deregulasi yang syarat konflik kepentingan serta merugikan publik secara luas," kata dia.
Ketiga, bahaya politisasi SARA yang setiap tahun politik selalu menguat. Padahal, ini akan membahayakan kebhinekaan, mengancam stabilitas politik, dan stabilitas negara di tengah kemajemukan.
"Politisasi SARA penting diantisipasi secara baik dan masif, karena isu ini seperti korek dan bensin, pada akhirnya akan menciptakan konflik sosial dan konflik politik yang akan menyeret dan merambah ke segala sektor," tuturnya.
Kerawanan keempat, Hasnu mencatat kampanye politik di media sosial yang menjadi tren kekinian kerap digunakan oleh parpol peserta pemilu secara bebas, tetapi di lain sisi regulasi spesifiknya belum ada.
"Kampanye politik di medsos secara bebas, jika konten dan narasi yang bangun bersifat informatif dan edukatif, maka tidak menjadi masalah. Kalau konten-konten negatif, maka ini berbahaya," ucap dia.
Kelima, lanjut Hasnu, bahaya
artificial intelligence (AI) dalam konteks elektoral makin meningkat, seperti contoh pada beberapa Pemilu di luar negeri seperti Amerika, Chili, dan Kanada, pernah termakan bahaya
artificial intelligence.
"Keenam, netralitas ASN. Ini juga cenderung luput dari pengawasan Bawaslu. Di mana ASN ini berpotensi menjadi mesin politik yang kuat jika tidak netral, maka dari itu sangat tidak fair jika proses pemilu ASN bersikap tidak netral," urainya.
Dan ketujuh, lanjut Hasnu, netralitas TNI, Polri, dan BIN. Diharapkan kepada TNI, Polri dan BIN agar bersikap netral, tidak memihak kepada parpol dan pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.
Maka dari itu, Hasnu berharap Pemilu 2024 bisa diikuti parpol peserta pemilu dan calon wakil publik di eksekutif agar dewasa dalam berkampanye.
"Artinya, kampanye politik yang mengedepankan ide-ide besar dalam menyelesaikan problem kenegaraan seperti krisis iklim, kesenjangan sosial, pendidikan yang belum teratasi, kemiskinan di mana-mana, pemerataan pembangunan dan sejumlah isu kerakyatan lainnya agar terselesaikan,” pungkas dia.