Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika telah mengeluarkan ultimatum kepada junta militer di Niger untuk mengembalikan pemerintahan negara yang dipilih secara demokratis.
Ultimatum tersebut berlaku selama 15 hari sejak kudeta yang menggulingkan Presiden Mohamed Bazoum beberapa hari lalu.
Penangguhan konstitusi dan penahanan pemimpin terpilih ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas dan masa depan demokrasi di benua tersebut.
Jenderal Mohamed Toumba, salah satu tokoh di balik kudeta, mengonfirmasi bahwa junta telah bertemu dengan pegawai negeri pada Jumat untuk meminta mereka melanjutkan pekerjaannya kembali seperti biasa setelah penangguhan konstitusi.
"Kami telah menyampaikan pesan untuk tidak menghentikan proses negara yang sedang berjalan, teruslah berjalan,” kata Brigjen Jenderal Toumba, sambil menegaskan bahwa mereka akan melakukan bagiannya yang diperlukan untuk tetap berkuasa.
Namun, reaksi internasional terhadap kudeta ini sangat keras. Uni Afrika mengecam kebangkitan yang mengkhawatirkan dari upaya kudeta tersebut, yang akan merusak demokrasi dan stabilitas di benua itu.
"Tentara diminta untuk segera kembali dan tanpa syarat ke barak mereka dan memulihkan otoritas konstitusional, dalam waktu maksimal lima belas (15) hari," bunyi seruan tersebut, seperti dimuat Assosiated Press, Minggu (30/7).
Selain itu, Uni Afrika juga menuntut pembebasan Presiden Bazoum tanpa syarat dalam waktu segera, dengan mengeluarkan ancaman sanksi terhadap para pelaku kudeta sebagai langkah penegasan.
Reaksi dari komunitas internasional juga tidak kalah tegas. Amerika Serikat turut mengancam akan mencabut dukungan ekonominya kepada Niger, sementara Uni Eropa telah mengumumkan penangguhan bantuan keuangan dan keamanan dengan durasi tanpa batas.
Kudeta yang berhasil dilakukan di Niger ini berpotensi menyulitkan jutaan rakyat negara tersebut yang telah hidup dalam kondisi miskin dan kelaparan, serta akan mempengaruhi hubungan internasional dengan wilayah tersebut.